Oleh : Agustianto Ketua I Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) dan Wakil Sekjen MES Pusat
Sabda Nabi Muhammad Saw, “Sesungguhnya Allah akan mengutus untuk umat
ini, setiap seratus tahun orang yang memperbaharui urusan agama mereka
(HR.Ahmad)
Sejarah pergerakan ekonomi Islam di Indonesia sebenarnya telah
berlangsung sejak tahun 1905, dengan berdirinya organisasi Syarekat
Dagang Islam (SDI) yang dibidani oleh para entrepreneur dan para tokoh
muslim saat itu.
Syarekat Dagang Islam (SDI) pada awalnya merupakan perkumpulan
pedagang-pedagang Islam, Islam kala itu merupakan ancaman serius bagi
kolonial, karena Islam membawa doktrin pembebasan untuk keadilan dan
kesejahteraan. Pada mulanya, organisasi ini dirintis oleh Haji Samanhudi
di Surakarta pada tahun 1905, dengan tujuan awal untuk menghimpun para
pedagang pribumi Muslim agar dapat bersaing dengan pedagang-pedagang
besar Cina. Pada saat itu, pedagang-pedagang Cina tersebut telah lebih
maju usahanya dan memiliki hak dan status yang lebih tinggi dari pada
penduduk Indonesia lainnya. Kebijakan yang sengaja diciptakan oleh
pemerintah Hindia-Belanda tersebut kemudian menimbulkan perubahan sosial
dan mendorong timbulnya kesadaran kaum muslim untuk bangkit melalui
organisasi ekonomi Islam yang berdasarkan pada agama Islam dan
perekonomian rakyat sebagai dasar penggeraknya.
Di bawah pimpinan H. Samanhudi, perkumpulan ini berkembang pesat
hingga menjadi perkumpulan yang berpengaruh. Demikian pula, di Surabaya
H.O.S. Tjokroaminoto mendirikan organisasi serupa tahun 1912.
Pada tahun 1912, oleh pimpinannya yang baru Haji Oemar Said
Tjokroaminoto, nama SDI diubah menjadi Sarekat Islam (SI). Hal ini
dilakukan agar organisasi tidak hanya bergerak dalam bidang ekonomi,
tapi juga dalam bidang lain seperti politik.
Kongres pertama diadakan pada bulan Januari 1913. Dalam kongres ini
Tjokroaminoto menyatakan bahwa SI bukan merupakan organisasi politik,
dan bertujuan untuk meningkatkan perdagangan antar bangsa Indonesia,
membantu anggotanya yang mengalami kesulitan ekonomi serta mengembangkan
kehidupan relijius dalam masyarakat Indonesia.
Minggu, 20 Mei 2012 bangsa Indonesia kembali memperingati Hari
kebangkitan Nasional. Oleh karena momentum peringatan Hari kebangkitan
Nasional ini sangat terkait dengan kebangkitan ekonomi Islam (kedua) yg
telah dideklarasikan di Jakarta, pada momentum Musyawarah Nasional MES,
maka saya selaku orang yang dipercaya membacakan Deklarasi kebangkitan
Nasional (Ekonomi Islam) kedua tersebut, perlu menurunkan artikel, pada
tgl 20 Mei 2012, yang diklaim sebagai hari kebangkitan nasional.
Masih segar dalam ingatan kita, 4 Tahun lalu, momentum peringatan
seratus tahun Kebangkitan Nasional pada 20 Mei 2008, diperingati,
secara meriah. Bahkan, sampai kini masih ditandai dengan gerak jalan
estafet, membawa obor secara beranting, dari Sabang sampai Merauke.
Terkait penetapan tgl 20 Mei 1908, sebagai momentum kebangkitan
nasional, perlu diluruskan sejarahnya, karena telah terjadi distorsi
sejarah.
Meluruskan sejarah Kebangkitan Nasional
Sebenarnya, tiga tahun sebelum lahirnya Budi Utomo telah berdiri
Syarikat Dagang Islam pada 16 Oktober 1905 di kota Solo. Beberapa tahun
kemudian untuk menonjolkan Islam, kata ‘dagang’ dihilangkan, sehingga
menjadi Syarikat Islam.
Pada seratus tahun lalu, dentuman meriam Jepang yang bertalu-talu
dalam pertempuran dengan Angkatan Laut Rusia di Selat Thusima
menyebabkan AL Rusia bertekuk lutut kepada Jepang di Port Arthur pada
tahun 1905. Kemenangan Jepang atas Rusia itu telah membnangkitkan
semangat dan harga diri bangsa-bangsa Timur bahwa mereka juga mampu
melawan penjajahan (Barat) dan mengusir mereka dari bumi Timur.
Peristiwa itu dijadikan momentum oleh seorang pemuda Lawean, Solo,
asal Klaten, untuk mencetuskan ide yang selama ini tersimpan dalam
jiwanya: menyusun kekuatan guna mengusir penjajah Belanda dari bumi
Indonesia.
Pemuda itu kemudian dikenal sebagai tokoh Perintis Kemerdekaan: Haji
Samanhudi. “Dialah hero yang sebenarnya bagi pergerakan Indonesia,”
tulis mantan tokoh Masyumi 1950-an, KH Firdaus AN dalam buku Dosa-dosa
Politik Orla dan Orba.
Setelah HOS Tjokroaminoto duduk dalam pimpinan Syarikat Islam (SI),
kemajuan SI makin hebat dengan semangat berkobar-kobar sehingga SI
dipandang sebagai ‘Ratu Adil’.
Kemajuan SI yang pesat saat itu membuat penasehat pemerintah
kolonial, Snouck Hurgronye, menulis dalam majalah Indologen Blad,
meminta pemerintah mewaspadai kebangkitan gerakan Islam ini dan jangan
sampai lengah.
Pada mulanya Belanda menolak kehadiran SI, tetapi kemudian
mengakuinya juga sebagai badan hukum pada 10 September 1912. Namun, oleh
kaum SI tanggal 16 Oktober 1905 dipandang sebagai kelahiran SI yang
sejati. Tanggal inilah yang diperingati kaum SI setiap tahun.
Setelah menjadi badan hukum, SI bertambah maju, melompat-lompat ke
depan menuntut kemerdekaan Indonesia di bawah pimpinan Tjokroaminoto
yang digelari ‘raja tanpa mahkota’. Kaum reaksioner Belanda menjadi
saling menyalahkan satu sama lain. Mereka menyalahkan Gubernur Jenderal
Indenburg yang mengakui SI secara resmi dalam politik dan mereka
memelesetkan SI sebagai Salahnya Indenburg.
Berlainan dengan SI yang sejak 1912 telah menuntut kemerdekaan
Indonesia, Budi Utomo (BU), menurut KH Firdaus AN, merupakan perkumpulan
kaum ambtenaar, yaitu para pegawai negeri yang setia kepada pemerintah
kolonial Belanda.
Pertama kali BU diketuai Raden T Tirtokusumo, Bupati Karanganyar,
yang dipercaya Belanda. Ia memimpin Budi Utomo sejak 1908 sampai 1911.
Kemudian dia digantikan oleh Pangeran Arjo Noto Dirojo dari istana Paku
Alam, Yogyakarta.
Dengan dipimpin oleh kaum bangsawan yang inggih selalu, tidak mungkin
BU akan dapat melangkah maju untuk mengadakan aksi massa, berjuang guna
mengubah nasib mereka yang menderita di bawah telapak kaki penjajah
Belanda.
Dengan sifat kebangsawanan yang pasif dan setia kepada Belanda itu,
juga membuat BU terjauh dari rakyat. Menurut Firdaus AN, BU bukan
bersifat kebangsaan yang umum bagi seluruh Indonesia, tetapi bersifat
regional, kedaerahan dan kesukuan yang sempit. Keanggotaannya selalu
terbatas bagi kaum ningrat aristokrat, dan hanya terbatas bagi suku Jawa
dan Madura.
SI yang dilahirkan di Solo tahun 1905 dengan sifat Nasional dan dasar
Islam yang tangguh, yang merupakan organisasi Islam terpanjang dan
tertua umurnya dari semua organisasi massa di tanah air.
Dengan sifat nasionalnya SI meliputi seluruh bangsa Indonesia yang
beragama Islam yang tersebar di seluruh kepulauan Indonesia. Ini
tercermin pada wajah para tokoh pemimpin SI dari berbagai kepulauan di
Indonesia.
Di bawah pimpinan trio politikus yang terkenal — Tjokroaminoto, Agus
Salim dan Abdul Muis — SI menjadi organisasi massa pertama yang bukan
hanya menuntut tapi memperjuangkan kemerdekaan RI. Kemudian menyusul
berdirinya Muhammadiyah pada 1912 yang diketuai oleh KH Ahmad Dahlan
yang berjuang di lapangan sosial dan pendidikan demi kecerdasan umat.
Dari paparan data dan fakta sejarah di atas, jelaslah bahwa
kebangkitan Nasional Bangsa Indonesia, sesungguhnya, bukan didasarkan
pada kelahiran Budi Utomo, yang pro kepada penjajah dan bersifat sempit,
melainkan pada kelahiran Syarikat Dagang Islam, yang jelas-jelas
melawan penjajahan, berisifat nasionalis, dan memperjuangkan
kemerdekaan Negara Republik Indonesia.
Kebangkitan Ekonomi Syariah : Kebangkitan Nasional (Ekonomi islam) Kedua
Gerakan ekonomi syariah kembali muncul di Indonesia, pada tahun 1992,
dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia atas prakarsa ICMI dan MUI.
setelah mendapat legitimasi legal formal dengan berlakunya Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dua tahun setelah BMI berdiri,
berdiri pula Asuransi Syariah Takaful di tahun 1994. Berbarengan dengan
itu, tumbuh pula 78 BPR Syariah dan pada tahun 1996 berkembang pula
lembaga keuangan mikro syariah BMT yang disusul oleh kehadiran
lembaga-lembaga keuangan syariah lainya, seperti pasar modalk syariah,
reksadana syariah, sukuk, multifinance syariah, pegadaian syariah, dana
pension syariah dan koperasi syariah. Regulasi dan Undang-Undang yang
terkait tentang lembaga keuangan dan pebankan syariah, juga bermunculan,
dengan disahkannya UU SBSN No 19/2008, UU Pe3rbankan Syariah, No
21/2008,
Setelah terjadi krisis 1997, hampir seluruh bank konvensional
dilikuidasi karena mengalami negative spread, kecuali bank yang mendapat
rekap dari pemerintah melalui BLBI dalam jumlah besar mencapai Rp 650
triliun. Bank-bank konvensional itu bisa diselamatkan dengan
mengorbankan kepentingan rakyat banyak.
Krisis tersebut membawa hikmah bagi pengembangan perbankan syariah di
Indonesia. Pemerintah dan DPR mengeluarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perubahan Undang-Undang No 7/1992. Pasca UU tersebut
sejumlah bank konversi kepada syariah dan membuka unit usaha syariah.
Perkembangan itu selanjutnya diikuti oleh lembaga-lembaga keuangan
syariah lainnya, seperti asuransi syariah, pasar modal syariah,
reksadana syariah. obligasi syariah, pegadaian syariah dan sebelumnya
telah berkembang lembaga keuangan mikro syariah BMT.
Perkembangan lembaga perbankan dan keuangan syariah mengalami
kemajuan yang sangat pesat dan menunjukkan ketangguhannya dalam masa
krisis moneter dan menunjukkan data-data kemajuan yang fantastis. Ketika
bank-bank konvensional mengalami likuidasi, bank syariah dapat
bertahan, karena sistemnya bagi hasil, sehingga tidak wajib membayar
bunga pada jumlah tertentu kepada nasabah sebagaimana pada bank
konvensional. FDR bank syariah senantiasa tinggi, Ini menunjukkanbahwa
dana pihak ketiga bersifat produktif/diinvestasikan kepada usaha
masyarakat.
Kemajuan dan perkembangan pesat lembaga perbankan dan keuangan
syariah dan dibarengi dengan maraknya lembaga pendidikan Tinggi ekonomi
Islam, merupakan fenomena yang spektakuler dalam konteks gerakan
kebangkitan kembali ekonomi Islam di Indoneia,
Sehubungan dengan itu, maka pada momentum MUNAS MES II, di tahun
2012, ini, Masyarakat Ekonomi Syariah memandang perlu dan stretegis
untuk menjadikan momentum fenomena kebangkitan ekonomi syariah saat ini
sebagai Kebangkitan kembali Ekonomi Islam Jilid II, setelah seratus
tahun gerakan Kebangkitan Ekonomi Islam, di tahun 1912 oleh Tokoh–tokoh
Islam saat itu,seperti H.Samanhudi dan HOS. Cokroaminoto. Pembacaan
naskah Deklarasi kebangkitan Nasional Ekonomi islam kedua, dibacakan
oleh Agustianto, wakil sekjen MES dan ketua I Pengurus Pusat Ikatan Ahli
Ahli Ekonomi Islam. Moentum deklarasi kebangkitan Nasional Ekonomi
Islam kedua, merupakan catatan sejarah yang amat penting di bumi
pertiwi.
Apabila motif Kebangkitan Ekonomi Islam partama pada 1912 bertujuan
untuk menghimpun kekuatan para pedagang muslim dalam konteks upaya
melepaskan diri dari penjajahan Kolonialisme dan meraih kemerdekaan,
maka motif Gerakan Kebangkitan Ekonomi Islam kedua, bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan bangsa Indoensia, sebagai bentuk nyata
perjuangan kaum muslimin Indonesia untuk mengisi kemerdekaan Republik
Indonesia yang telah diproklamirkan pada tahun 1945.
Sumber : http://www.agustiantocentre.com