Rabu, 20 Oktober 2010

Muamalah Dibangun di Atas Kejujuran dan Amanah

oleh : Prof.Dr.Abdullah al-Mushlih & Prof.Dr.Shalah ash-Shawi

Definisi ash-Shidq (Kejujuran) dan Amanah

Kata (الصَّدْقِ) dalam etimologi bahasa Arab menunjukkan pada pengertian kekuatan pada sesuatu, baik berupa perkataan atau selainnya, yaitu kesamaan hukum atas realitasnya. Kata ini adalah anonim kata (الكَذِب). Sedangkan kata (الأَمَانَةِ) merupakan anonim dari kata (الخِيَانَة), yang memiliki pengertian: ketenangan hati, tasdiq, dan wafa’ (penunaian secara total).

Kata “jujur”, dalam istilah (terminologi) muamalah, adalah pernyataan transaktor yang sesuai dan tidak menyelisihi realitasnya. Sedangkan amanah adalah penyempurnaan akad transaksi dan penunaiannya, serta tidak menyelisihinya

Dalil Kaidah Ini

Kaidah ini telah ditetapkan oleh al-Quran, Sunnah, dan ijma’. Allah telah mewajibkan pada hamba-Nya untuk berbuat jujur dan amanah dalam seluruh perkara, sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَكُونُواْ مَعَ الصَّادِقِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (Qa. at-Taubah: 119)

Juga, firman-Nya ‘Azza wa Jalla,

إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤدُّواْ الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا
“Sesungguhnya, Allah memerintahkan kamu untuk menyampaikan amanah kepada orang yang berhak menerimanya.” (Qs. an-Nisa`: 58)

Ketika maksud dari muamalah adalah mendapatkan usaha dan keuntungan, sehingga terkadang membawa manusia untuk berdusta dan berkhianat, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan hamba-Nya untuk berbuat jujur, amanah, dan menjelaskan perkaranya dengan benar.

Allah Ta’ala berfirman,

فَأَوْفُواْ الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ وَلاَ تَبْخَسُواْ النَّاسَ أَشْيَاءهُمْ وَلاَ تُفْسِدُواْ فِي الأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاَحِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
“… Maka, sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya. Jangan pula kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, jika kamu benar-benar orang-orang yang beriman.” (Qs. al-A’raf: 85)

Juga, firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala,

فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضاً فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ
“… Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah orang yang dipercayai itu menunaikan amanahnya (utangnya).” (Qs. al-Baqarah: 283)

Demikian juga, perintah menunaikan akad-akad transaksi, seperti dalam firman-Nya ‘Azza wa Jalla ,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ
“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” (Qs. al-Maidah: 1)

Kesemua ayat-ayat ini menunjukkan bahwa dasar muamalah adalah kejujuran dan amanah.

Sedangkan, Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memerintahkan hal ini banyak sekali, di antaranya adalah hadits Hakim bin Hizam radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi,

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا أَوْ قَالَ حَتَّى يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Jual-beli itu dengan khiyar (hak pilih) selama belum berpisah–atau (beliau) menyatakan, ‘hingga keduanya berpisah.’ Apabila keduanya jujur dan menjelaskan (keadaan barangnya), maka berkah akan diberikan dalam jual-belinya, dan jika keduanya menyembunyikan (aib) dan berdusta maka berkah dihapus dalam jual-belinya.“ (Hr. al-Bukhari dan Muslim)

Demikian juga, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam dengan ancaman berat bagi orang yang berdusta dalam muamalahnya, dalam sabdanya,

ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمْ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ قَالَ فَقَرَأَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثَ مِرَارًا قَالَ أَبُو ذَرٍّ خَابُوا وَخَسِرُوا مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْمُسْبِلُ وَالْمَنَّانُ وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ
“Ada tiga orang yang tidak diajak bicara dan tidak dilihat oleh Allah di hari kiamat, serta yang tidak disucikan dan yang mendapat adzab yang pedih. Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya tiga kali. Abu Dzar bertanya, ‘Mereka telah rugi dan menyesal. Siapakah mereka wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Orang yang berpakaian melebihi mata kaki (al-musbil), orang yang mengungkit pemberiannya (al-mannan), dan orang yang menutupi barang dagangannya dengan sumpah dan dusta.’ ” (Hr. Muslim)

Tidak cukup dengan itu saja, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melarang kebohongan dalam muamalah, sebagaimana beliau menegur pedagang yang menutupi aib barang dagangannya dengan menyatakan,

مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ قَالَ أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَفَلَا جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَيْ يَرَاهُ النَّاسُ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي
“Apa ini wahai pedagang makanan?” Pedagang itu menjawab, “Terkena hujan, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Mengapa tidak kamu taruh makanan tersebut di atas agar orang melihatnya? Barangsiapa yang berbuat bohong maka (dia) bukan (bagian) dariku.” (Hr. Muslim)

Hadits ini, mencakup semua jenis muamalah, baik berupa jual-beli, sewa-menyewa, syarikat, dan yang lainnya.

Kaidah dasar dalam kewajiban jujur dan amanah dalam muamalah disampaikan oleh Imam al-Ghazali rahimahullahu dalam pernyataan beliau,

ألا يُحِبُّ لِأَخِيْهِ إِلاَّ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ فَكُلُّ مَا عومل بِهِ شقَّ عَلَيْهِ وثقل عَلَى قَلْبِهِ فَلاَ يُعَامِلُ بِهِ أَخَاهُ
“Menginginkan untuk saudaranya seperti yang ia inginkan untuk dirinya, sehingga semua muamalah yang membuatnya susah dan menyusahkan hatinya, janganlah dilakukan untuk saudaranya.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidaklah sempurna keimanan seorang mukmin hingga ia mencintai untuk saudaranya segala sesuatu yang ia cintai untuk dirinya sendiri.”(Hr. Bukhari dan Muslim)

Perinciannya disampaikan al-Ghazali dalam pernyataan beliau,
“Adapun perinciannya, ada dalam empat hal, yaitu:
1. Tidak memuji barang dagangannya dengan berlebihan (tidak memuji dengan mengungkapkan keunggulan yang tidak terdapat pada barang dagangannya).
2. Jangan menyembunyikan aibnya dan sifat-sifat jeleknya, sedikit pun.
3. Jangan menyembunyikan berat dan ukurannya, sedikit pun.
4. Jangan menyembunyikan harganya, yang seandainya orang yang ia muamalahi mengetahuinya tentulah ia tidak akan mau (membelinya).”

Demikianlah, kewajiban jujur dan amanah dalam muamalah, sehingga imam Ahmad rahimahullahu melarang berdiplomasi dalam jual-beli, karena berisi tadlis (penyembunyian aib) dan tidak menjelaskan keadaan barangnya dengan seharusnya. Hal ini tidaklah khusus hanya dalam jual-beli saja, bahkan bersifat umum dalam semua muamalah.

Ibnu Taimiyah rahimahullahu menyatakan, “Semua yang wajib dijelaskan, maka diharamkan untuk dilakukan diplomasi atasnya, karena itu adalah penyembunyian (hakikat) dan tadlis (penyembunyian aib).”

Kamis, 14 Oktober 2010

Pembiayaan berdasar prinsip jual beli murabahah

Murabahah adalah prinsip jual beli, sehingga semestinya tidak tepat jika disebut pembiayaan. Tetapi untuk memudahkan mengingat kita pakai istilah pembiayaan. (beberapa BMT juga menggunakan istilah pembiayaan untuk prinsip selain bagi hasil).
Murabahah adalah prinsip jual beli. Yaitu menjual barang sebesar harga pokok ditambah marjin keuntungan, di mana pembayarannya dapat dilakukan secara tunai atau angsuran. Pembeli dan penjual harus sama-sama tahu mengenai harga pokok dan menyepakati marjin. Sekali harga disepakati, harga tersebut yang berlaku sampai akad berakhir, artinya, harga kesepakatan tidak akan berubah sampai akad selesai. Dalam produk ini, BMT bertindak sebagai penjual.
Contoh:
Karti Laksmini ingin memiliki sepeda motor merk Gonda Super T seharga Rp. 10.000.000. Karti ke BMT untuk mendapat pembiayaan. Oleh BMT ditawari pembiayaan dengan prinsip murabahah. Jangka waktu 1 tahun, dibayar secara angsuran per bulan. Karti dan BMT menyepakati marjin untuk BMT adalah Rp. 1.000.000.
à dalam contoh tersebut, BMT bertindak sebagai penjual dan nasabah Karti sebagai pembeli. Keduanya mengetahui harga pokok dan menyepakati marjin.
Angsuran per bulan = harga pokok + marjin
Jangka waktu
= Rp. 10.000.000 + Rp. 1.000.000
12 bulan = Rp. 916.667

Pembiayaan berdasar prinsip bagi hasil mudharabah

Dalam produk pembiayaan ini, berarti BMT sebagai pemilik modal 100% dan nasabah sebagai pengelola 100%. Keduanya sepakat untuk bekerja sama membuat suatu usaha. Jika terdapat keuntungan, maka dibagi berdua sesuai nisbah. Jika terjadi kerugian akibat kesalahan pengelola, maka pengelola sendiri yang harus menanggungnya. Tapi jika kesalahan itu bukan karena kesalahan pengelola, maka pemilik dana (BMT) yang harus menanggungnya.
Contoh:
Juki Suprapto membutuhkan dana sebesar Rp. 10.000.000 untuk membuat usaha bengkel sepeda motor. Mengajukan pembiayaan mudharabah, dietujui oleh BMT. Jangka waktu 10 bulan, diangsur setiap bulan dengan bagi hasilnya. Nisbah BMT:Juki = 30% : 70%.
Angsuran pokok per bulan = Rp. 10.000.000
10 bln = Rp. 1.000.000
Bulan I
Juki untung Rp. 400.000
Bagi hasil untuk BMT = 30% x 400.000 = Rp. 120.000
Angsuran bulan I = Rp. 1.000.000 + Rp. 120.000 = Rp. 1.120.000
Bulan II
Juki rugi Rp. 200.000
a. akibat kesalahan Juki
Angsuran bulan II = Rp. 1.000.000
Angsuran bulan II ini hanya sebesar pokoknya saja, karena Juki menderita kerugian sehingga tidak ada yang di bagi hasil antara Juki dan BMT. Dan karena rugi akibat kesalahan Juki, maka Juki sendiri yang harus menanggungnya.
b. bukan akibat kesalahan Juki Angsuran bulan II = Rp. 1.000.000 – Rp. 200.000 = Rp. 800.000
Karena rugi bukan akibat kesalahan Juki, maka kerugian sebesar Rp. 200.000 tersebut ditanggung oleh BMT. Sehingga angsuran yang disetor Juki hanya sebesar Rp. 800.000 saja. Yaitu angsuran pokok dikurangi kerugian.

Pembiayaan berdasar prinsip bagi hasil musyarakah

Musyarakah adalah prinsip bagi hasil, yaitu kerja sama antara beberapa mitra yang masing-masing mitra menyetorkan sejumlah dana (bisa sama atau berbeda) dan memberikan keahlian mereka untuk membuat suatu usaha dan mengelolanya secara bersama-sama. Apabila terdapat keuntungan, dibagi sesama mitra berdasar nisbah, apabila terjadi kerugian, kerugian ditanggung bersama sesuai proporsi modal masing-masing.
Dalam pembiayaan musyarakah ini, nasabah dan bank sama-sama menyetorkan modal untuk membuat usaha. Tetapi, bank tidak ikut serta dalam kepengelolaan usaha tersebut.
Contoh:
Paijo Ramelan mempunyai modal Rp. 10.000.000, ingin membuat usaha pabrik tahu, tetapi modalnya belum mencukupi. Paijo mendapat pembiayaan musyarakah dari bank syariah sebesar Rp. 15.000.000. Jangka waktu 1 tahun, diangsur tiap bulan beserta bagi hasil. Nisbah disepakati Paijo:BMT = 70% : 30%.
Angsuran pokok per bulan = Rp. 15.000.000 : 12 = Rp. 1.250.000
Bulan I
Keuntungan pabrik tahu Rp. 2.000.000
Bagi hasil untuk BMT = 30% x Rp. 2.000.000 = Rp. 600.000
Jadi angsuran bulan I = Rp. 1.250.000 + Rp. 600.000 = Rp. 1.850.000
Yang seperti contoh di atas tersebut disebut sebagai musyarakah menurun, artinya bagian modal salah satu mitra menurun terus secara bertahap sampai pada waktu yang ditentukan (dalam contoh di atas 1 tahun), salah satu mitra yang akan memiliki usaha tersebut. Dalam contoh di atas, bagian modal BMT terus menurun dari bulan ke bulan, karena sudah dikembalikan Paijo. Hingga nanti pada bulan ke-12 ketika pembiayaan musyarakah Paijo lunas, BMT sudah tidak memiliki modal (kepemilikan/kepesertaan) pada usaha pabrik tahu. Sehingga yang memiliki pabrik tahu tinggal si Paijo saja.
Apabila misalnya Paijo sepakat dengan BMT untuk tidak mengembalikan pembiayaan yang diterimanya, disebut musyarakah permanen. Artinya bagian modal masing-masing mitra terus sama sehingga kepemilikan usaha ada pada dua mitra tersebut tanpa dibatasi waktu.
Mengenai bagi hasil, ada dua metode yang dapat digunakan, yaitu profit sharing (bagi laba) dan revenue sharing (bagi pendapatan). Jika BMT memakai metode revenue sharing, berarti yang dibagi hasil antara BMT dan nasabah pembiayaan adalah pendapatan tanpa dikurangi dengan biaya-biaya. Sedangkan apabila menggunakan metode profit sharing, maka yang dibagi hasil antara BS dan nasabah pembiayaan adalah pendapatan setelah dikurangi biaya-biaya (laba). Dua metode ini digunakan salah satu untuk semua produk yang berprinsip bagi hasil.

Rabu, 04 Agustus 2010

RAMADHAN : MOMENTUM HIJRAH KE EKONOMI SYARI’AH

RAMADHAN : MOMENTUM HIJRAH KE EKONOMI SYARI’AH
Drs.Agustianto,MA
Sekjen DPP Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI), dan Dosen Ekonomi Syariah Pascasarjana Universitas Indonesia Jakarta

Pendahuluan
Substansi puasa adalah pengendalian diri serta menghindarkan diri dari segala prilaku tercela. Dengan demikian ibadah puasa bukan saja menahan makan, minum dan berhubungan seks, tetapi juga menahan diri dari segala sesuatu yang diharamkan, seperti ghibah (menggunjing), berdusta, berjudi, korupsi dan termasuk riba (bunga bank).
Selama bulan Ramadhan, prilaku yang halal saja ada yang dilarang dilakukan, seperti makan, minum dan berhubungan suami-istri, apalagi perilaku yang haram dan syubhat, jelas semakin dilarang dan harus ditinggalkan.
Dengan demikian, seorang yang benar-benar berpuasa, akan berusaha meninggalkan segala yang diharamkan, seperti riba. menerima suap, berbohong, mubazzir, dsb.
Orang yang berpuasa secara benar pasti terpanggil untuk melaksanakan ajaran syariahnya, termasuk dalam kegiatan perekonomian. Salah satu bentuk aktivitas perekonomian yang sangat penting adalah transaksi perbankan dan lembaga keuangan lainnya.
Di zaman modern ini, seluruh pakar ekonomi Islam se-dunia telah sepakat (ijma’) menyatakan bahwa bunga bank yang banyak dipraktekkan saat in termasuk kepada riba, bahkan menurut mereka, bunga bank yang ada sekarang lebih zalim daripada riba jahiliyah. (lihat juga fatwa MUI, 2003). Lebih tiga ratusan ulama (ahli ekonomi Islam) terkemuka sedunia, sejak tahun 1973 telah menyepakati keharaman bunga bank. Lebih dari 30-an kali konferensi, seminar dan simposium internasional yang telah digelar, menyepakati kepastian haramnya bunga bank, karena sistem ini telah membawa mudharat yang besar bagi perekonomian dunia dan negara-negara yang menjadi korban sistem ribawi. Keburukan sistem bunga yang demikian telah begitu nyata, sehingga tidak ada celah sedikitpun untuk membolehkannya. Keyakinan para ulama semakin mantap dan pasti tentang keharaman bunga bank. (Kajian ilmiah dan komprehensif tentang keharaman bunga bank diuraikan pada tulisan-tulisan yang lain, karena rubrik ini spacenya terbatas)
Sebagai solusi atas eliminasi riba dalam perekonomian, para pakar ekonomi Islam merumuskan konsep lembaga-lembaga keuangan bebas riba. Hasilnya sangat luar biasa. Dalam tempo sekitar 30 tahun, lembaga perbankan Islam misalnya telah berkembang di 75 negara dengan pertumbuhan yang fantastis, 15 % pertahun. Kini seluruh asset bank syariah diperkirakan mencapai 1 trilun dolar US.
Dulu ada pendapat bunga bank boleh dengan alasan darurat. Sekarang alasan darurat telah hilang, sebab bank Islam tanpa bunga telah hadir di hadapan kita, yakni bank-bank syariah dan LKS lainnya.
Saat ini, di tengah umat Islam telah berdiri bank-bank syariah dan lembaga keuangan syariah (LKS) lainnya, maka menjadi kewajiban bagi umat Islam untuk mengamalkan ajaran syari’ah Islam dan meninggalkan riba yang diharamkan.
Orang yang berpuasa secara benar, pasti terpanggil untuk hijrah dari sistem ekonomi kapitalis yang ribawi kepada sistem perbankan syari’ah Islam, yang bebas bunga. Momentum Ramadhan harus dimanfaatkan kaum muslimin untuk meninggalkan perilaku yang diharamkan Allah menuju sistem yang syari’ah yang diciptakannya.
Riba adalah salah satu dosa terbesar dalam Islam. Sangat banyak hadits Nabi Saw yang mengutuk pelaku riba tersebut. Sebuah hadits riwayat Bukhari Muslim meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda, “Tinggalkanlah tujuh perkara yang membinasakan. Para sahabat bertanya, “Apakah itu ya Rasul?. Beliau menjawab, syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa orang yang diharamkan Allah kecuali dengan hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri ketika peperangan berkecamuk, menuduh wanita suci berzina”. (HR..dari Abu Hurairah).
Dalam hadits riwayat muslim bahwa Jabir berkata, “Rasulullah melaknat dan mengutuk orang memakan riba (kreditur) dan orang yang memberi makan orang lain dengan riba (debitur). Rasul juga mengutuk pegawai yang mencatat transaksi riba dan saksi-saksinya. Nabi SAW bersabda, “Mereka semuanya sama”.
Selanjutnya, Abbdullah bin Mas’ud memberitakan bahwa Nabi SAW bersabda, “Riba itu mempunyai tujuh puluh tiga pintu, sedang yang paling ringan ialah seorang yang menzinai ibunya sendiri”. (HR.Ibnu Majah dan Hakim).
Dalam hadits lain Nabi barsabda, “Empat golongan yang tidak dimasukkan ke dalam syorga dan tidak merasakan nikmatnya, yang menjadi hak prerogatif Allah, Pertama, peminum kahamar,Kedua pemakan riba, Ketiga, pemakan harta anak yatim dan keempat, durhaka kepada orang tuanya”.(H.R. Hakim).
Abdullah bin Hanzalah, meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, Satu dirham riba yang diambil seseorang, maka dosanya di sisi Allah lebih besar dari tiga puluh enam kali berzina yang dilakukannnya dalam islam”.(H.R. Darul Quthny)
Diriwayatkan oleh Anas bahwa Rasulullah SAW telah berkhutbah dan menyebut perkara riba dengan bersabda,”Sesungguhnya satu dirham yang diperoleh seseorang dari riba, lebih besar dosanya di sisi Allah dari tiga puluh enam kali berzina. Dan sesungguhnya sebesar-besar riba ialah mengganggu kehormatan seorang muslim”. (H.R. Baihaqi dan Ibnu Abu Dunya).
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwa Nabi SAW bersabda, “Apabila zina dan riba telah merajalela dalam suatu negeri, maka sesunggguhnya mereka telah menghalalkan azab Allah diturunkan kepada mereka”.(H.R. Hakim)

Hijrah ke ekonomi syariah
Demikian besarnya dosa bunga bank (riba), maka menjadi kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar bagi orang-orang yang beriman untuk segera hijrah ke sistem ekonomi syari’ah. Dalam bidang perbankan, kita telah memiliki sistem perbankan Islami yang dijalankan berdasarkan prinsip syari’ah Islam.
Dalam proses hijrah ini, banyak hambatan yang kita dihadapi, antara lain adanya pandangan dangkal orang awam yang tidak mengerti ekonomi dan perbankan Islam. Mereka menganggap bahwa Bank Islam sama saja dengan perbankan konvensional. Padahal dalam penelitian ilmiah, khususnya dari ilmu ekonomi makro dan moneter, bank Islam memiliki puluhan keunggulan yanag tidak dimiliki bank konvensional. Bank Islam benar-benar berbeda dengan bank konvensional, jika dikaji secara ilmiah dan mendalam. Tidak mungkin ratusan pakar ekonomi Islam se-dunia sepakat untuk kesesatan. Mereka senantiasa mengajak umat ke jalan yang benar. Mereka dalam kitab-kitabnya sepakat tentang kezaliman bank sistem bunga, baik secara mikro apalagi secara makro.
Mudahan-mudahan di bulan yang penuh berkah ini, Allah memberi hidayah kepada kita untuk hijrah ke lembaga –lembaga keuangan Islam yang bebas riba. Bagaimana mungkin Allah menerima puasa kita sementara kita mengamalkan dosa besar yang sangat dibenciNya.

Minggu, 01 Agustus 2010

Keadilan Ekonomi Islam

oleh : Agustianto
Keadilan merupakan pilar terpenting dalam ekonomi Islam. Penegakkan keadilan telah ditekankan oleh Al-Qur’an sebagai misi utama para Nabi yang diutus Allah (QS.57:25), termasuk penegakkan keadilan ekonomi dan penghapusan kesenjangan pendapatan.
Allah yang menurunkan Islam sebagai sistem kehidupan bagi seluruh umat manusia, menekankan pentingnya penegakan keadilan dalam setiap sektor, baik ekonomi, politik maupun sosial. Komitmen Al-Quran tentang penegakan keadilan sangat jelas. Hal itu terlihat dari penyebutan kata keadilan di dalam Al-quran mencapai lebih dari seribu kali, yang berarti ; kata urutan ketiga yang banyak disebut Al-Quran setelah kata Allah dan ‘Ilm.
Bahkan, Ali Syariati menyebutkan, dua pertiga ayat-ayat Al-Quran berisi tentang keharusan menegakkan keadilan dan membenci kezhaliman, dengan ungkapan kata zhulm, itsm, dhalal, dll (Majid Kahduri, The Islamic Conception of Justice (1984), hlm 10). Karena itu, tujuan keadilan sosio ekonomi dan pemerataan pendapatan / kesejahteraan, dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari filsafat moral Islam.
Begitulah, penekanan Islam pada penegakkan keadilan sosio ekonomi. Maka, adalah keliru, klaim kapitalis maupun sosialis yang menyatakan, “Hanya ideologi kami yang berbicara dan bertindak tegas dalam masalah keadilan. “Setidaknya hanya kamilah yang mempunyai komitmen kuat tentang nilai-nilai keadilan”. Itulah klaim yang dilontarkan berbagai komponen masyarakat dunia dalam kerangka memperlihatkan keunggulan ideologi atau kepercayaan yang mereka anut.
Harus kita bedakan bahwa konsep kapitalis tentang keadilan sosio ekonomi dan pemerataan pendapatan, tidak didasarkan pada komitmen spiritual dan persaudaraan (ukhuwah) sesama manusia. Komitmen penegakkan keadilan sosio ekonomi lebih merupakan akibat dari tekanan kelompok. Karenanya, sistem kapitalisme terutama yang berkaitan dengan uang dan perbankan, tidak dimaksudkan untuk mencapai tujuan – tujuan keadilan sosio ekonomi yang berdasarkan nilai transendental (spritual) dan persaudaraan universal. Sehingga, tidak aneh, apabila uang masyarakat yang ditarik oleh bank konvensional (kapitalis) dominan hanya digunakan oleh para pengusaha besar (konglomerat). Lembaga perbankan tidak dinikmati oleh rakyat kecil yang menjadi mayoritas penduduk sebuah negara. Fenomena ini semakin jelas terjadi di Indonesia. Akibatnya yang kaya semakin kaya dan miskin makin miskin. Ketidakadilan pun semakin lebar.
Sebagaimana disebut di atas, konversi ekonomi Barat (terutama kapitalisme) kepada penegakan keadilan sosio ekonomi, merupakan akibat tekanan-tekanan kelompok masyarakat dan tekanan-tekanan politik. Untuk mewujudkan keadilan sosio-ekonomi itu mereka mengambil beberapa langkah, terutama melalui pajak dan transfer payment.
Meskipun ada usaha melalui instrumen pajak, namun langkah-langkah ini menurut Milton Friedman, terbukti tidak cukup efektif untuk mengatasi ketidakadilan, karena nyatanya pajak selalu menguntungkan pengusaha, dan para penjabat pajak bersama kelompok-kelompoknya. (Lihat, “Capitalisme and Freedom”, Chicago, The University of Chicago Press, 1962, p.172).
Jadi, konsep keadilan sosio ekonomi dalam Islam berbeda secara mendasar dengan konsep keadilan dalam kapitalisme dan sosialisme. Keadilan sosio ekonomi dalam Islam, selain didasarkan pada komitmen spritual, juga didasarkan atas konsep persaudaraan universal sesama manusia.
Al-Quran secara eksplisit menekankan pentingnya keadilan dan persaudaraan tersebut. Menurut M. Umer Chapra, sebuah masyarakat Islam yang ideal mesti mengaktualisasikan keduanya secara bersamaan, karena keduanya merupakan dua sisi yang sama yang tak bisa dipisahkan. Dengan demikian, kedua tujuan ini terintegrasi sangat kuat ke dalam ajaran Islam sehingga realisasinya menjadi komitmen spritual (ibadah) bagi masyarakat Islam.
Komitmen Islam yang besar pada persaudaraan dan keadilan, menuntut agar semua sumber daya yang menjadi amanat suci Tuhan, digunakan untuk mewujudkan maqashid syari’ah, yakni pemenuhan kebutuhan hidup manusia, terutama kebutuhan dasar (primer), seperti sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan. Persaudaraan dan keadilan juga menuntut agar sumberdaya didistribusikan secara adil kepada seluruh rakyat melalui kebijakan yang adil dan instrumen zakat, infaq, sedekah, pajak, kharaj, jizyah, cukai ekspor-impor dan sebagainya.
Tauhid yang menjadi fondasi utama ekonomi Islam, mempunyai hubungan kuat dengan konsep keadilan sosio-ekonomi dan persaudaraan. Ekonomi Tauhid yang mengajarkan bahwa Allah sebagai pemilik mutlak dan manusia hanyalah sebagai pemegang amanah, mempunyai konsekuensi, bahwa di dalam harta yang dimiliki setiap individu terdapat hak-hak orang lain yang harus dikeluarkan sesuai dengan perintah Allah, berupa zakat, infaq dan sedekah dan cara-cara lain guna melaksanakan pendistribusian pendapatan yang sesuai dengan konsep persaudaraan umat manusia.
Sistem keuangan dan perbankan serta kebijakan moneter, misalnya, dirancang semuanya secara organis dan terkait satu sama lain untuk memberikan sumbangan yang positif bagi pengurangan ketidak-adilan dalam ekonomi dalam bentuk pengucuran pembiayaan (kredit) bagi masyarakat dan memberikan pinjaman lunak bagi masyarakat ekonomi lemah melalui produk qardhul hasan.
Selanjutnya, dalam rangka mewujudkan cita-cita keadilan sosial ekonomi, Islam secara tegas mengecam konsentrasi asset kekayaan pada sekelompok tertentu dan menawarkan konsep zakat, infaq, sedeqah, waqaf dan institusi lainnya, seperti pajak, jizyah, dharibah, dan sebagainya.
Al-Quran dengan tegas mengatakan, “Supaya harta itu tidak beredar di kalangan orang kaya saja di antara kamu” (QS. 59:7), “Di antara harta mereka terdapat hak fakir miskin, baik peminta-minta maupun yang orang miskin malu meminta-minta” (QS. 70:24).
Berdasarkan prinsip ini, maka konsep pertumbuhan ekonomi dalam Islam berbeda dengan konsep pertumbuhan ekonomi kepitalisme yang selalu menggunakan indikator PDB (Produk Dosmetik Bruto) dan perkapita. Dalam Islam, pertumbuhan harus seiring dengan pemerataan. Tujuan kegiatan ekonomi, bukanlah meningkatkan pertumbuhan sebagaimana dalam konsep ekonomi kapitalisme. Tujuan ekonomi Islam lebih memprioritaskan pengentasan kemiskinan dan pengurangan pengangguran.
Karena itu, Islam menekankan keseimbangan antara petumbuhan dan pemerataan. Pertumbuhan an sich bukan menjadi tujuan utama, kecuali dibarengi dengan pemerataan. Dalam konsep Islam, pertumbuhan dan pemerataan merupakan dua sisi dari sebuah entitas yang tak terpisahkan, karena itu keduanya tak boleh dipisahkan.
Berdasarkan prinsip ini, maka paradigma tricle down effect, yang dikembangkan kapitalisme dan pernah diterapkan di Indonesia selama rezim orde baru, bertentangan dengan konsep keadilan ekonomi menurut Islam.
Selanjutnya, sistem ekonomi kapitalis dicirikan oleh menonjolnya peran perusahaan swasta (private ownership) dengan motivasi mencari keuntungan maksimum, harga pasar akan mengatur alokasi sumberdaya, dan efisiensi. Namun sistem ini selalu gagal dalam membuat pertumbuhan dan pemerataan berjalan dengan seiring.
Sistem ekonomi kapitalis telah menggoyahkan fondasi moral manusia, karena sistem ini telah menghasilkan manusia yang tamak, boros dan angkuh. Sistem kapitalis juga telah melahirkan sejumlah bankir hebat, beberapa industriawan yang kaya raya, sejumlah pengusaha yang sukses. Namun di pihak lain, telah muncul banyak konsumen yang tidak mampu memenuhi kebutuhan minimumnya. Kesenjangan terjadi secara tajam. Perusahaan-perusahaan yang lemah akan tersingkir dan tersungkur.
Perlu ditegaskan, bahwa melekatnya hak orang lain pada harta seseorang (QS. 70:24), bukanlah dimaksudkan untuk mematahkan semangat karya pada setiap individu atau menimbulkan rasa malas bagi sebagian orang. Juga tidak dimaksudkan untuk menciptakan kerataan pemilikan kekayaan secara kaku. Dalam perspektif ekonomi Islam, proporsi pemerataan yang betul-betul sama rata, sebagaimana dalam sosialisme, bukanlah keadilan, malah justru dipandang sebagai ketidakadilan. Sebab Islam menghargai prestasi, etos kerja dan kemampuan seseorang dibanding orang yang malas.
Dasar dari sikap yang koperatif ini tidak terlepas dari prinsip Islam yang menilai perbedaan pendapatan sebagai sebuah sunnatullah. Landasannya, antara lain bahwa etos kerja dan kemampuan seseorang harus dihargai dibanding seorang pemalas atau yang tidak mampu berusaha. Bentuk penghargaannya adalah sikap Islam yang memperkenankan pendapatan seseorang berbeda dengan orang lain, karena usaha dan ikhtiarnya. Firman Allah, “Sesungguhnya Allah melebihkan rezeki sebagian kamu atas sebagian lain”. (QS. 16:71).
Namun, orang yang diberi kelebihan rezeki, harus mengeluarkan sebagian hartanya untuk kelompok masyarakat yang tidak mampu (dhu’afa). Sehingga seluruh masyarakat terlepas dari kemisikinan absolut.
Konsep keadilan sosio-ekonomi yang diajarkan Islam menginginkan adanya pemerataan pendapatan secara proporsional. Dalam tataran ini, dapat pula dikatakan bahwa ekonomi Islam adalah ekonomi yang dilandaskan pada kebersamaan. Karena itu tidak aneh, bila anggapan yang menyatakan bahwa prinsip keadilan sosio-ekonomi Islam mempunyai kemiripan dengan sistem sosialisme. Bahkan pernah ada pendapat yang menyatakan bahwa sistem sosialisme itu jika ditambahkan dan dimasukkan unsur-unsur Islam ke dalamnya, maka ia menjadi islami.
Dengan demikian, pendapat dan pandangan yang menyatakan kemiripan sistem keadilan sosio Islam dengan sosialisme tidak sepenuhnya benar, malah lebih banyak keliruannya. Prinsip ekonomi sosialisme, yang menolak kepemilikan individu dan menginginkan pemerataan pendapatan, jelas berbeda dengan prinsip ekonomi Islam. Sosialisme sama sekali tidak mengakui hak milik individu.
Reaksi masxisme dibungkus secara politis revolusioner dalam paham komunis yang intinya mengajarkan bahwa seluruh unit ekonomi dikuasakan kepada negara yang selanjutnya didistribusikan kepada seluruh masyarakat secara merata. Hal ini didasarkan semangat pertentangan terhadap pemilikan individu.
Sedangkan dalam ekonomi Islam, penegakkan keadilan sosio-ekonomi dilandasi oleh rasa persaudaraan (ukhuwah), saling mencintai (mahabbah), bahu membahu (takaful) dan saling tolong menolong (ta’awun), baik antara si kaya dan si miskin maupun antara penguasa dan rakyat.
ppa.brawijaya.ac.id |

Rabu, 28 Juli 2010

Ekonomi Islam dalam Teori Ekonomi Modern

Hudzaifah.org - Banyak dari teori-teori ekonomi modern yang merupakan hasil curian dari pemikiran ekonomi Islam. Maka ekonom Islam tidak perlu terkesima dengan teori-teori ekonomi Barat. Beberapa institusi ekonomi yang ditiru oleh Barat dari dunia Islam antara lain syirkah (serikat dagang), suftaj (bills of exchange), hiwala (Letters of credit), darut Tiraz (pabrik yang didirikan dan dijalankan negara) di Spanyol, Sicilia. Palermo dan ma�una (sejenis private bank) dikenal di Barat sebagai Maona.

Raymond Lily (1223-1215) yang telah melakukan perjalanan ke negara-negara Arab mendirikan lima universitas yang mengajarkan bahasa Arab sehingga banyak yang kemudian menerjemahkan karya-karya ekonom Islam. Adapun karya-karya ekonom muslim yang diterjemahkan adalah al-kindi, al-farabi, Ibnu Sina, al-Ghazali, Ibnu Rusd, Khawarizmi, Ibnu Haitham, Ibnu Ha-zam, Jabir Ibnu Hayyan, Ibnu Bajja, ar-Razi.

Beberapa pemikiran ekonom Islam yang dicuri tanpa pernah disebut sumber kutipannya antara lain :

- Teori Pareto Optimum diambil dari kitab Nahjul Balaghah Imam Ali.
- Bar Habraeus, pendeta Syriac Jacobite Church menyalin beberapa bab Ihya Ulumuddin al-Ghazali.
- Gresham Law dan Oresme Treatise diambil dari kitab Ibnu Taimiyyah
- Bapak Ekonomi Barat,Adam Smith (1776 M), dengan bukunya The Wealth of Nation diduga banyak mendapat inspirasi dari buku al-Amwal-nya Abu Ubaid (838 M) yang dalam bahasa Inggrisnya adalah persis judul bukunya Adam Smith, The Wealth.
- Pendeta Gereja Spanyol Ordo Dominican Raymond Martini menyalin banyak bab dari Tahafut al Falasifa, Maqasid al-falasifa, al-Munqid, Mishkat al-Anwar, dan Ihya-nya al Ghazali. (AW)

--------------------------
Sumber :
� Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer �
By : Adiwarman Karim

Kamis, 06 Mei 2010

Tiga Sudut Pandang Ekonomi Islam

Tiga Sudut Pandang Ekonomi Islam
Ditulis oleh Prayudi
Sama tujuan, beda pandangan. Ini juga terjadi dalam memahami dan menggali ekonomi Islam. Ekonom Islam telah membuat garis damarkasi yang jelas antara ilmu ekonomi konvensional dan ilmu ekonomi Islam. Keduanya tidak mungkin dikompromikan, karena keduanya didasarkan pada paradigma yang berbeda. Namun ketika kepada mereka disodorkan bagaimana menjelaskan dan mengkonsep ekonomi Islam itu, muncullah perbedaan pendapat yang tajam.

Setidaknya, sampai saat ini, seperti disampaikan pakar ekonomi Islam Adiwarman A Karim, pemikiran ekonom muslim kontemporer terbagi dalam tiga kubu dengan cara pandang yang khas dan berbeda satu sama lain. Mereka adalah madzab Baqir as-Sadr, madzhab mainstream, dan madzhab alternatif-kritis.

Madzhab pertama dipelopori oleh Baqir As-Sadr melalui buku fenomenal: Iqtishaduna (ekonomi kita). Belakangan muncul tokoh-tokoh pendukung yang ikut mempopulerkan madzhab ini seperti Abbas Mirakhor, Baqir al-Hasan, Kadim as-Sadr, Iraj Taotounchian dan Hedayati.

Dalam buku Iqtishaduna, Baqir memaparkan betapa ilmu ekonomi (economics) tidak akan pernah sejalan dengan Islam. Secara ketat dia menegaskan, ilmu ekonomi tetaplah ekonomi, dan Islam tetap Islam. Keduanya tidak bisa disatukan karena terlahir dari filosofi yang secara diametral bertentangan: anti-Islam dan Islam.

Perbedaan yang tajam itu mencuat pada mencoloknya perbedaan pandangan dalam melihat dan memetakan masalah ekonomi. Sebagai misal, dalam melihat problema mendasar dari ekonomi. Ilmu ekonomi menjelaskan persoalan ekonomi muncul karena adanya keinginan manusia yang tak terbatas, sementara sumberdaya yang bisa digunakan untuk memuaskan keinginan itu sangat terbatas.


Madhzab Baqir menolak pandangan ini. Mereka menyebut Islam tidak mengenal adanya sumberdaya yang terbatas. ''Sungguh Kami telah menciptakan segala sesuatu dalam ukuran yang setepat-tepatnya.'' Dalil yang mereka petik dari Alquran 54:49 itu menjadi rujukan betapa sumberdaya sudah diciptakan Allah dalam ukuran yang tepat. Dengan demikian segala sesuatunya sudah terukur dengan sempurna, karena Allah telah memberikan sumberdaya yang cukup bagi seluruh ummat manusia di dunia.

Akan halnya sumberdaya yang terbatas yang mereka tolak, mereka juga menampik pandangan bahwa keinginan manusia itu tak terbatas. Sebagai contoh, manusia akan berhenti minum setelah dahaganya terpuaskan. Contoh yang sangat mudah dimengerti ini, bahkan dalam literer ilmu ekonomi konvensional dikenal dengan Hukum Gossen.

Lalu apa persoalan ekonomi yang sebenarnya? Madzhab Baqir menjelaskan, persoalan ekonomi muncul sebagai akibat adanya sistem ekonomi yang membolehkan adanya eksploitasi dari yang kuat terhadap yang lemah. Mereka yang kuat memiliki akses terhadap sumberdaya sehingga seolah menggenggam kunci untuk membuka sumberdaya untuk terus memupuk kekayaannya. Sedangkan yang lemah tidak memiliki akses yang sama sehingga terus terkepung oleh kemiskinan yang terus-menerus membuatnya makin papa.

Dalih inilah yang mereka ajukan untuk menjungkirbalikkan argumen ekonomi konvensional dan seklaigus menandaskan, persoalan ekonomi bukanlah karena sumberdaya yang terbatas. Persoalan ekonomi muncul karena keserakahan manusia yang tidak terbatas.

Berdasarkan gambaran ini, mereka menolak istilah ilmu ekonomi Islam. Istilah itu mereka katakan sebagai bentuk yang menyesatkan dan kontradiktif, dan kerenanya penggunaan istilah ilmu ekonomi Islam harus dihentikan. Alternatifnya, mereka mengusulkan istilah Iqtishad yang berakar dari terminologi Islam sendiri.

Istilah Iqtishad bukanlah sekedar mengalihbahasakan ekonomi dalam kosakata Arab. Sebab, menurut mereka, istilah itu dalam bahasa aslinya merujuk pada arti ''keadaan sama'', ''seimbang'' atau ''pertengahan'' yang dalam bahasa ekonomi lebih dikenal dengan ekuilibrium.

Upaya penggantian istilah kemudian berlanjut pada radikalisasi yang mengerucut pada penolakan dan pembuangan seluruh ilmu ekonomi konvensional. Sebagai pengganti, mereka menuliskan sendiri teori-teori ekonomi yang digali dan dideduksi dari Al-quran dan As-Sunnah.

{Madzhab Mainstream}
Berbeda dengan Baqir, Madzhab Mainstream malah mendukung rumusan yang telah digulirkan ilmu ekonomi konvensional. Persoalan ekonomi, menurut madzhab ini, terjadi karena sumberdaya yang terbatas yang dihadapkan pada keinginan manusia yang tak terbatas.

Uniknya untuk mendukung teorema ini, tak kalah dengan Baqir, mereka juga merujuk dari dalil Alquran. ''Dan Sungguh akan Kami uji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.'' Jelaslah betapa sumberdaya memang terbatas seperti diakui sendiri oleh Al Quran 2:155 itu.

Lebih konkret lagi mereka mencontohkan, total permintaan dan penawaran beras di seluruh dunia memang akan berada pada titik ekuilibrium. Namun kenyataan itu akan berbeda bila dilihat dari sisi tempat dan waktu. Pada sisi ini akan sangat mungkin terjadi kelangkaan sumberdaya. Dan inilah yang sering terjadi. Suplai beras di Ethiopia dan Bangladesh, misalnya, lebih langka dibanding dengan yang ada di Thailand. Keterbatasn sumberdaya ini yang menurut mereka tidak bisa dinafikan.



Permasalahan bagi ilmu ekonomi adalah bagaimana menata skala prioritas. Ilmu ekonomi konvensional menyerahkan penataan ini pada selera manusia. Prinsip ini tidak bersesuain dengan prinsip Islam karena manusia bisa terjerumus pada apa yang disebut oleh Al-Quran dengan 'mempertuhankan hawa nafsu'.

Pandangan madzhab Mainstream tidak ada bedanya dengan pandangan ekonomi konvensional. Titik pangkal persoalan ekonomi menurut mereka adalah kelangkaan sumber daya (scarcity). Namun meskipun sama-sama memandang kelangkaan sebagai titik masalah, tentu saja madzhab Mainstream tetap berbeda dengan ekonomi konvensional.

Perbedaan itu terletak dalan menyelesaikan masalah. Kesulitan yang hadir karena sumber daya yang terbatas di satu pihak dan keinginan manusia yang tak terbatas di sisi lainnya, memaksa manusia membuat skala prioritas dalam memenuhi keinginannya.
Dalam pandangan ekonomi konvensional pola penentuan skala prioritas itu didasarkan pada pandangan selera masing-masing.

Mereka boleh mempertimbangkan tuntutan agama, pun boleh mengabaikannya. Dengan kata lain pilihan prioritas itu diserahkan pada keinginan mereka yang bebas atau yang dalam bahasa Al-Quran disebut sebagai 'mempertuhankan hawa nafsu'.

Di sinilah bedanya. Madzhab Mainstream menegaskan pilihan dalam menata prioritas ekonomi itu tak bisa diatur semaunya saja. Sebab, perilaku manusia dalam segala aspeknya tak terkecuali masalah ekonomi, diatur dan dipandu oleh Al-Quran. Pandangan inilah yang dipopulerkan oleh antara lain Umer Chapra, MA Mannan, dan M Nejatullah Siddiqi.

Banyak pendukung madzhab ini yang bekerja di Islamic Development Bank (IDB). Karena mereka memiliki akses ke berbagai negara, ide-idenya lebih cepat dan mudah tersebar. Kebanyakah dari mereka adalah doktor yang belajar dan sekaligus mengajar di universitas-universitas Barat.

Sangat wajar bila mereka tidak pernah membuang teori-teori ekonomi konvensional ke keranjang sampah. Menurut mereka, usaha mengembangkan ekonomi Islam tidak berarti harus memusnahkan semua hasil analisis yang berharga yang telah dicapai oleh ekonomi konvensional. Sebab, mengambil hal-hal yang baik dan berguna yang dihasilkan oleh peradaban nonislam tidaklah diharamkan. Mereka merujuk pada hadits Nabi yang mengatakan hikmah itu bagi ummat Islam ibarat barang yang hilang di mana saja ditemukan, ummat Islamlah yang paling berhak untuk mengambilnya.

Madzhab alternatif-kritis
Dua madzhab sebelumnya: madzhab Baqir dan Mainstream sama-sama bermasalah. Setidaknya, itulah yang memicu lahirnya paham ketiga dalam memandang ekonomi Islam. Madzhab ini lebih dikenal sebagai madzhab Alternatif-Kritis. Di antara pelopornya adalah Timur Koran (ketua Jurusan Ekonomi University of Southern California), Jomo (Yale, Cambride, Harvard, Malaya) dan Muhammad Arif.

Mereka mengkritik madzhab Baqir hanya berusaha menemukan sesuatu yang baru yang sebenarnya sudah ditemukan oleh orang lain dengan menghancurkan teori lama dan menggantinya dengan perspektif yang baru. Sedang madzhab mainstream menurut mereka sekedar 'jiplakan' dari teori ekonomi konvensioanl dengan menghilangkan variabel riba dan memasukkan variabel zakat serta niat.

Sesuai namanya, mereka mencoba kritis baik terhadap sosialisme dan kapitalisme ataupun kepada Islam sendiri. Mereka yakin bahwa Islam tentu benar, tapi ekonomi Islami belum tentu benar karena itu digali dari penafsiran manusia terhadap Al-Quran dan As-Sunnah yang nilai kebenarannya tidak mutlak lagi. Oleh karena itu, tandas mereka, ekonomi Islam harus selalu diuji kebenarannya sebagaimana yang dilakukan terhadap ekonomi konvensional.

Prinsip-prinsip umum
Meskipun berbeda dalam memformulasikan pandangan dalam memahami ekonomi Islam, namun ketiga madzhab di muka setuju dengan prinsip-prinsip umum yang mendasari ekonomi Islam. Prinsip inilah yang membentuk keseluruhan kerangka ekonomi Islam yang bisa digambarkan sebagai bangunan rumah dari mulai dasar hingga atapnya (lihat gambar).

Fondasi dari bangunan ekonomi Islam dibangun di atas lima dasar: tauhid (keimanan), 'adl (keadilan), nubuwwah (kenabian), khilafah (pemerintahan) dan ma'ad (hasil). Kelima elemen inilah yang menjadi dasar inspirasi untuk menyususn proposisi dan teori ekonomi Islam.
Agar teori yang kuat ynag digali dari ke lima elemen itu bisa diterapkan dan memberi dampak bagi kehidupan ekonomi maka harus disusun menjadi sebuah sistem.

Karena itulah dari kelima dasar itu kemudian dieksplorasi dan kemudian diturunkan menjadi tiga prinsip derivatif yang menjadi cikal bakal sistem ekonomi Islam. Ketiga unsur ini adalah kepemilikan multi jenis (multitype ownership), kebebasan untuk berusaha (freedom to act) dan keadilan sosial (social justice).

Baru sebagai atap yang memayungi semua nilai dan prinsip itu ditempatkan konsep akhlaq. Kenapa demikian, karena akhlaq menjadi sentral dari dakwah nabi untuk menyempurnakan akhlaq manusia. Jadilah akhlaq ini yang menjadi panduan dan pedoman bagi pelaku ekonomi dalam menjalankan segenap aktivitas bisnisnya.



Mekanisme pasar menjadi bagian yang mendasar bagi Islam. Asalkan, tidak terjadi prektek distorsi (proses penzdaliman). Karena potensi distorsi selalu ada dalam pasar, maka itu harus dikurangi terus-menerus dengan menerapkan prinsip keadilan. Penegakan nilai-nilai keadilan dilakukan dengan melarang semua kegiatan usaha yang cenderung membawa mafsadat (kerusakan) seperti riba (tambahan yang didapat secara dzalim), gharar (ketidakpastian) dan maysir (perjudian) atau pun mendapatkan keuntungan dari kerugian orang lain.

Sebuah bangunan rumah setidaknya dibangun dari fondasi yang kuat, disangga dengan pilar-pilar yang kokoh, dilengkapi dengan atap yang menahan terik maupun hujan. Demikian juga dengan konstruksi teori ekonomi Islam. Fondasi untuk pembentukan ekonomi Islam dilandaskan pada lima nilai pokok. Yakni, keimanan (tauhid), keadilan ('adl), kenabian (nubuwwah) dan pemerintahan (khilafah).

Kelima dasar yang membentuk teori ekonomi Islam ini selanjutnya diturunkan dalam tiga prinsip yang membentuk sistem ekonomi Islam. Ketiganya adalah kepemilikan multijenis (multitype ownership, kebebasan berusaha (freedom to act) dan keadilan sosial (social justice) yang menjadi pilar penyangga. Sebagai atapnya, konstruksi ekonomi Islam memilihkan 'bahan' yang kita kenal dengan akhlaq. Berikut kupasan ringkas dari masing-masing nilai itu.

Keesaan Tuhan
Esensi paling dasar dari fondasi ajaran Islam adalah Tauhid (keesaan tuhan). Bertauhid artinya, meniadakan semua elemen, zat yang patut disembah kecuali Allah (QS 2:107, 5:17,120, 24:33). Karena Allah adalah Maha Pencipta alam semesta (QS 6:1-3) sekaligus pemilik dan pemeliharanya. Allahlah yang memiliki segala sesuatu. Kepemilikan yang dikuasai manusia sekedar amanah dari Allah, yang diberikan sebagai batu ujian bagi manusia.

Segala sesuatu yang ada tidaklah diciptakan Allah dengan sia-sia, melainkan ada tujuannya (QS 23:115). Manusia diciptakan Allah untuk mengabdi dan beribadah kepada-Nya (QS 51:56). Dalam kerangka ini, segala tindak manusia yang berhubungan dengan alam (sumberdaya) dan manusia (muamalah) tidak bisa dilepaskan dari hubungannya dengan Allah. Karena, kepada Allahlah nantinya segala perbuatan -- termasuk di dalamnya aktivitas ekonomi dan bisnis -- akan dipertanggungjawabkan.

Keadilan
Sifat adil ('adl) menjadi sifat-Nya dalam segala hal. Sebagai wujud keadilan itu, Allah tidak membeda-bedakan makhluk berdasarkan kriteria ras, kekayaan, kecantikan, tapi siapa yang paling bertaqwa di antara mereka. Untuk menjaga keadilan di dunia, Allah menitahkan manusia untuk memelihara hukum Allah dan menjamin segala sumber daya diarahkan untuk kesejahteraan manusia (QS 2:30).

Dengan cara itu, semua manfaat dari sumberdaya dapat didistribusikan secara adil. Adil secara sederhana diartikan sebagai "tidak menzdalimi dan tidak dizdalimi". Adil dalam ekonomi berarti setiap usaha pelaku ekonomi tidak boleh hanya didasari motif untuk mengejar keuntungan pribadi dengan merugikan orang lain atau merusak alam.

Bila nilai keadilan hilang, maka manusia akan terkotak-kotak dalam berbagai kelompok, di mana kelompok yang satu bisa menjadi ancaman bagi kelompok lainnya. Pada akhirnya, yang sangat dikhawatirkan adalah terjadinya eksploitasi manusia atas manusia (QS 25:20). Pada taran ini nilai keadilan digantikan dengan kerakusan.

Kenabian
Manusia bisa mengetahui bagaimana dia bertauhid dan selanjutnya bisa berbuat adil, tidak bisa dipisahkan dari peran para nabi dan rasul. Karena merekalah, pertunjuk Allah untuk bisa memaknai hidup agar selamat di dunia dan akhirat sampai kepada manusia. Mereka juga sekaligus menjadi prototype dan teladan bagi manusia di masanya.

Bagi umat Islam, model yang sempurna yang telah dikirimkan Allah adalah Nabi Muhammad. Sebagai teladan, Nabi sepanjang hayatnya telah memperlihatkan empat sikap konsisten yang menjadi modal dasar dalam bernegara, berbisnis, berda'wah dan bermasyarakat yaitu sifat shiddiq, amanah, fathonah dan tabligh.

Siddiq berarti benar atau jujur dalam segala tindakan. Inilah visi setiap muslim. Kehidupan di dunia harus dijalani secara benar, supaya hidup kita diridhai oleh yang Mahabenar. Dari konsep ini, dalam ekonomi bisa diturunkan prinsip efektivitas (mencapai tujuan yang tepat) dan efisiensi (melakukan kegiatan yang benar). Efektivitas bisa dicapai bila kegiatan ekonomi tersebut dilakukan dengan menggunakan teknik dan metode yang tidak menyebabkan kemubaziran. Mubazir dalam Islam adalah temannya setan. Dan setan selalu menjadi lawan dari kebenaran.

Bila visi muslim kebenaran, maka perwujudannya dalam keseharian adalah bentuk sikap amanah. Bersikap amanah menjadi misi bagi setiap muslim. Amanah dalam bentuk sederhananya adalah tanggung jawab, kepercayaan dan kredibilitas. Muslim yang amanah berarti dia akan selalu berusaha dalam segala tindakannya dapat dipertanggungjawabkan.

Dengan demikian, kredibilitasnya di mata para kolega bisnis pun akan tinggi. Tanpa kredibilitas, bisnis yang sedang dirancang atau sudah dijalani akan hancur.

Visi dan misi saja belum cukup. Untuk melengkapinya, seorang muslim harus cerdas dan bijaksana. Inilah perwujudan dari sifat fathonah. Dengan kecerdikan dan wawasan mendalam, seorang muslim akan memiliki strategi dalam hidup. Implikasi ekonomi dari sifat fathonah adalah bahwa segala aktivitas ekonomi harus dilakukan berdasarkan ilmu, kecerdikan dan menggunakan semua potensi akal untuk meraih tujuan. Pendeknya dalam berbisnis, muslim dituntut untuk bersikap work hard and smart.

Untuk menunjang tiga sifat dasar di muka, dalam hidup muslim harus bisa melakukan kegiatan pemasaran. Dalam 'memasarkan' ajaran agama, Nabi dibekali dengan sifat tabligh. Sifat itu bisa meliputi keahlian komunikasi, keterbukaan dan pemasaran. Bila sifat tabligh sudah mendarah daging, setiap muslim mestinya bisa menjadi pemasar-pemasar tangguh.

Pemerintahan
Manusia diciptakan untuk menjadi kholifah (pemimpin yang memerintah) di muka bumi. Itu artinya, mereka mendapatkan amanah sebagai pemimpin dan pemakmur bumi. Sifat manusia pada dasarnya sebagai pemimpin. 'Setiap dari kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya, demikian sebuah petikan sabda Nabi. Dengan demikian, apakah dia sebagai kepala negara, pemimpin masyarakat, pemimpin keluarga atau sebagai individu pun mereka adalah pemimpin. Ini mendasari sikap hidup kolektif dalam Islam. Fungsi utamanya adalah untuk menjaga keteraturan interaksi antar kelompok agar kekacauan dan keributan bisa dihindarkan.

Dalam Islam pemerintah memerankan bagian yang tidak kecil. Di pundak pemerintah dipikulkan tugas untuk menjamin perekonomian agar berjalan sesuai dengan syariah, di samping untuk memastikan agar tidak ada pelanggaran-pelanggaran atas hak-hak manusia. Semua itu bertujuan untuk mencapai maqashid syar'i (tujuan-tujuan syariah) yaitu untuk memajukan kesejahteraan manusia. Kesejahteraaan itu hanya bisa dicapai bila ada perlindungan terhadap keimanan, jiwa, akal, kehormatan dan kekayaan manusia.

Hasil
Prinsip dasar ekonomi Islam yang terakhir adalah ma'ad (hasil). Secara harfiah ma'ad berarti "kembali". Hidup manusia akan berakhir dan kemudian ia akan "kembali" kepada Allah. Ini mengajarkan betapa hidup tidak saja di dunia, tapi terus berlanjut hingga alam akhirat. Itulah kenapa dalam Islam dunia dipandang tak lebih dari sekedar ladang bagi akhirat. Dunia sekedar wahana untuk menyebarkan benih-benih kebajikan yang hasilnya akan dituai di akhirat kelak. Karena lebih kekal, tentu saja akhirat lebih baik ketimbang dunia. Karena itu Allah melarang manusia untuk terikat pada dunia. allah menegaskan, kesenangan di dunia tidaklah seberapa bila dibanding dengan kenikmatan akhirat (QS 87:17).

Allah memerintahkan manusia untuk berjuang untuk mnedapatkan ganjaran baik di dunia maupun di akhirat. Perbuatan baik mereka akan dibalas dengan kebaikan yang berlipat. Dari sini konsep ma'ad diartikan sebagai imbalan atau ganjaran. Dalam kehidupan ekonomi, motivasi para pelaku bisnis, menurut Imam Ghazali, adalah untuk mendapatkan laba: baik berupa ganjaran di dunia dan akhirat. Itulah mengapa konsep Islam memberikan legitimasi untuk memdapatkan profit.

Sistem ekonomi Islam
Dari kelima nilai di muka, jelaslah semua elemen menjadi sumber inspirasi bagi penyusunan teori-teori dan proposisi ekonomi Islam. Dari nilai-nilai itu, bisa diturunkan lagi dalam bentuk prinsip derivatif yang menjadi ciri khas sistem ekonomi Islam. Prinsip derivatif tersebut adalah kepemilikan multi jenis (multitype ownership), kebebasan berusaha (freedom to act) dan keadilan sosial (social justice). Berikut kupasan dari masing-masing prinsip.

Nilai tauhid dan adil akan melahirkan konsep multitype ownership. Dalam sistem kapitalis, prinsip umum kepemilikan yang berlaku adalah kepemilikan swasta. Sebaliknya, dalam sistem sosialis, negaralah yang mengklaim kepemilikan itu. Islam berada di tengah-tengahnya dengan mengakui bermacam-macam bentuk kepemilikan baik untuk swasta, negara atau campuran.

Dengan prinsip ini, ditegaskan pemilik utama bumi seisinya berikut langit yang memayungi hanya Allah semata. Manusia sekedar diberi hak untuk mengelola. Dia sekedar pemilik sekunder. Dengan demikian kepemilikan swasa diakui, tapi untuk menjamin keadilan -- tidak ada eksploitasi satu dengan yang lain -- maka cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Ini adalah bentuk pengakuan terhadap kepemilikan negara. Sistem kepemilikan campuran, baik campuran swasta-negara maupun swasta-domestik-asing, juga mendapat tempat dalam Islam.

Nilai nubuwwah di muka telah dijelaskan akan menjadikan pribadi-pribadi yang profesional dan prestatif dalam segala hal -- termasuk dalam bisnis. Pelaku bisnis akan tergerak untuk menjadikan Nabi sebagai model dalam menjalankan bisnis, khususnya dalam meniru sifat siddiq, amanah, tabligh, dan fathonah.

Keempat nilai ini bila digabungkan dengan nilai keadilan dan khilafah (good governance) akan melahirkan prinsip kebebasan bertindak (freedom to act) bagi setiap muslim, khususnya dalam usaha/bisnis. Freedom to act akan menciptakan mekanisme pasar bagi perekonomian yang sehat. Mekanisme pasar menjadi bagian yang mendasar bagi Islam, asalkan tidak terjadi prektek distorsi (proses penzdaliman).

Karena potensi distorsi selalu ada dalam pasar, maka itu harus dikurangi terus-menerus dengan menerapkan prinsip keadilan. Penegakan nilai-nilai keadilan dilakukan dengan melarang semua kegiatan usaha yang cenderung membawa mafsadat (kerusakan) seperti riba (tambahan yang didapat secara dzalim), gharar (ketidakpastian) dan maysir (perjudian) atau pun mendapatkan keuntungan dari kerugian orang lain.

Menjadi tugas negaralah untuk menyingkirkan segala distorsi ini. Dengan demikian negara bertindak untuk mengurangi market distortion. Peran negara adalah mengawasi interaksi (muamalah) para pelaku bisnis dalam menjalankan usahanya agar tidak melanggar syariah dan menjadikan pihak lain sebagai pihak yang terzdalimi.

Gabungan dari nilai khilafah dan ma'ad akan melahirkan prinsip keadilan sosial (social justice). Dalam Islam, pemerintah bertanggung jawab menciptakan keseimbangan sosial antara yang kaya dengan yang miskin.


Akhlaq
Setelah memiliki landasan teori yang kuat, serta sistem ekonomi yang mantap, masih ada lagi yang kurang: perlunya panduan yang menuntut para pelaku ekonomi bertindak. Mereka harus bertindak sesuai dengan teori dan sistem yang telah digali dari sumber-sumber Islam itu. Norma yang bisa menuntut untuk melakukan itu adalah akhlaq.

Dengan kata lain, harus ada manusia yang berperilaku dan berakhlaq secara profesional (ihsan) dalam bidang ekonomi. Baik dia posisinya sebagai produsen, konsumen, pengusaha, karyawan, atau sebagai pejabat pemerintah.

Teori sebaik apapun tidak akan mendapatkan hasil guna yang diharapkan bila manusia pelaksananya tidak berakhlaq. Sistem ekonomi Islam hanya memastikan tidak ada transaksi ekonomi yang bertentangan dengan syariah. Namun yang penting, kinerja bisnis tergantung pada man behind the gun. Akhlaq menjadi kriteria pertama apakah para pebisnis melakukan usahanya dengan benar. Itulah kenapa nabi menegaskan, "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq."

Rabu, 05 Mei 2010

MODAL PRODUKSI DALAM KONSEP EKONOMI ISLAM

MODAL PRODUKSI DALAM KONSEP EKONOMI ISLAM
Ditulis oleh Naili Rahmawati
Tuesday, 04 May 2010

Pendahuluan

Faktor penggerak yang sangat mendasar dari suatu aktivitas ekonomi adalah adanya usaha untuk memenuhi kebutuhan manusia. Pemenuhan kebutuhan manusia merupakan tujuan sekaligus motivasi dari terbentuknya kegiatan ekonomi masyarakat, baik dalam produksi, konsumsi dan distribusi. Namun, tidak semua kebutuhan manusia dapat terpenuhi. Kebutuhan seseorang dikatakan terpenuhi, apabila ia dapat mengkonsumsi barang atau jasa dari hasil proses produksi yang tersedia. Dalam memenuhinya, manusia memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Perbedaan ini antara lain disebabkan oleh adanya proses produksi, yang sangat terkait dengan faktor-faktor pendukungnya yang masih terbatas jumlah, termasuk modal (capital).

Dalam konsep sistem ekonomi Kapitalis, hak milik atas barang modal atau alat-alat produksi lain seperti tanah, mesin dan sebagainya, dapat berada di tangan perorangan. Setiap orang (individu) berhak dan bebas menggunakan, mengembangkan dan mencari keuntungan dari modal yang dimiliki untuk berusaha (melakukan aktivitas ekonomi seperti produksi dan sebagianya), dan negara tidak boleh ikut campur dalam semua aktivitas ekonomi yang bertujuan mencari keuntungan (profit), selama aktivitas itu sah dan sesuai dengan peraturan yang ditetapkan negara. Oleh karenanya, kebebasan individu dalam menguasai harta secara tak terbatas, akan menyebabkan penumpukan kekayaan secara berlebihan dan dan dapat menimbulkan persaingan bisnis yang tidak sehat. Dan pada akhirnya, di tengah masyarakat akan timbul kekacauan dan problem ekonomi lainnya dalam tatanan perekonomian karena adanya kebebasan individu dalam mengeksploitasi sumber-sumber produksi yang tersedia untuk kepentingn diri sendiri.

Sementara itu, dalam konsep sistem ekonomi Sosialis, kepemilikan atas hak miliki sangat dibatasi. Hal ini sangat bertolak belakang dengan apa yang ditawarkan sistem Kapitalisme. Sistem ini membatasi (melarang) tiap individu memiliki modal yang akan digunakan dalam aktivitas ekonomi, termasuk dalam bidang produksi melarang keras kepemilikikan modal utama (dominan). Semua modal yang ada sepenuhnya milik pemerintah (negara). Hanya negara-lah yang berhak menguasai faktor-faktor yang mendukung proses produksi. Dalam hal ini, posisi negara adalah sangat dominan dan berfungsi sebagai motor penggerak perekonomian dan tiap individu hanya berkedudukan sebagai pelaksana kegiatan produksi yang telah direncanakan. Dengan kata lain, kebebasan ekonomi dan hak atas kepemilikan modal dihapuskan dan telah ditentukan oleh prinsip kesamaan, di mana tiap individu telah disediakan kebutuhan hidupnya menurut keperluan masing-masing. Oleh karenanya, sistem ini pada dasarnya akan menghambat kreativitas individu untuk mengembangkan kegiatan perekonomiannya, karena adanya monopoli yang mengatas-namakan sosialisme.

Adapun dalam konsep sistem ekonomi Islam, hak milik individu terhadap harta (termasuk kepemilikan atas modal produksi) pada dasarnya merupakan suatu amanat yang dititipkan Allah kepada hamba-Nya. Islam memandang masalah ekonomi tidak dari sudut pandang kapitalis yang memberikan kebebasan yang tak terbatas kepada individu untuk menggalakkan usaha secara perorangan, dan tidak pula menghapus semua hak individu dan menjadikan mereka budak ekonomi yang dikendalikan negara seperti yang ditekankan ekonomi sosialis.Akan tetapi, di bawah sistem ekonomi Islam, kepemilikan individu atas harta dan pengembangannya tetap memiliki kebebasan dengan dibatasi ketentuan-ketentuan yang sesuai aturan-aturan Syari’ah.

Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan mencoba memaparkan bagaimana peran modal dalam suatu aktivitas perekonomian, khususnya dalam proses produksi dan bagaimana pola-pola pengembangannya sesuai dengan konsep-konsep yang ditawarkan sistem ekonomi Islam.



Modal dalam Proses Produksi

Proses produksi merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh manusia untuk menghasilkan barang-barang (hasil produk) dalam memenuhi kebutuhan hidup, dengan motif (latar belakang) yang berbeda-beda, antara lain misalnya motif ekonomi, yang berorientasi pada keuntungan (profit), motif sosial-kemanusian, yaitu kegiatan produksi dilakukan karena adanya manfaat positif dan tidak menimbulkan kerusakan moral (etika) bagi masyarakat, dan motif politik, yaitu kegiatan produksi dilakukan berkaitan dengan adanya kebutuhan negara atas suatu barang produksi sebagai pendukung ketahanan dan stabilitas pemerintahan. Al-Qur’an menggunakan konsep produksi dalam artian luas, dan lebih menekankan pada perolehan manfaat dari barang yang akan diproduksi, yaitu harus memiliki hubungan dengan kebutuhan hidup manusia. Kegiatan memproduksi barang-barang secara berlebihan dan tidak sesuai dengan kebutuhan manusia dianggap sebagai kegiatan yang tidak produktif (unproductive).



Pengertian Modal

Modal sebagai salah satu faktor produksi dapat diartikan sebagai semua bentuk kekayaan yang dapat dipakai langsung atau tidak langsung dalam proses produksi untuk menambah out put-nya. Dalam pengertian lain, modal didefinisikan sebagai semua bentuk kekayaan yang memberikan penghasilan kepada pemiliknya atau suatu kekayaan yang dapat menghasilkan suatu hasil yang akan digunakan untuk menghasilkan kekayaan lain.

Dari ketiga definisi di atas diketahui bahwa pada prinsipnya modal segala sesuatu yang memiliki peranan penting untuk menghasilkan suatu barang

produksi dalam suatu proses produksi.



Peran Modal dalam Proses Produksi

Suatu modal dalam kegiatan ekonomi merupakan salah satu faktor penting produksi yang tidak dapat diabaikan, di samping faktor-faktor pendukung proses produksi lainnya. Setiap individu berhak menggunakan modal yang dimiliki dengan baik dan produktif. Produksi berskala besar dalam usaha memenuhi kebutuhan masyarakat yang dicapai saat ini, adalah manfaat yang dapat dihasilkan dari penggunaan modal secara maksimal, efisien dan produktif. Oleh karena itu, seseorang yang memiliki harta, baik yang tidak atau belum mampu mengurusnya, diharuskan dapat mengembangkan harta yang dimiliki dengan benar dan membiayai keuntungan pemiliknya dari keuntungan perputaran modal, bukan dari pokok modalnya.

Menurut Bowerk, suatu modal produksi dapat dikatakan sebagai modal yang

produktif, jika :

a. Modal mempunyai kesanggupan sebagai faktor pendukung dalam memproduksi barang-barang produksi.

b. Modal mempunyai kekuatan untuk menghasilkan barang-barang dalam jumlah yang lebih besar dari jumlah yang dihasilkan tanpa memakai modal.

c. Modal sanggup menghasilkan barang atau benda-benda yang lebih berharga dari apa yang dihasilkan tanpa menggunakan modal.

d. Modal sanggup menghasilkan nilai harga (price) yang lebih besar dari nilai modal itu sendiri.

Dengan demikian dapat diketahui dengan jelas, bahwa suatu modal memiliki kedudukan yang sangat penting dalam faktor-faktor produksi, meskipun bukan menjadi yang terpenting. Dalam hal ini faktor manusia mempunyai tempat yang lebih tinggi di atas modal sebagai faktor utama yang menjadi penyebab adanya kegiatan produksi ataupun aktivitas ekonomi lainnya. Oleh karenanya, fungsi modal yang utama adalah sebagai penunjang jalannya proses produksi untuk mengahasilkan barang-barang produksi dalam rangka memenuhi kebutuahan masyarakat (konsumen).



Pengembangan Modal Dalam Proses Produksi Menurut Konsep Ekonomi Islam

Sebagian penulis sistem ekonomi Islam menyatakan bahwa sesungguhnya Islam hanya memusatkan perhatiannya pada pendistribusian harta (pembagian kekayaan secara adil), dan tidak memiliki hubungan sama sekali dengan produksi dan pengembangannya. Pernyataan ini tidak semuanya benar. Jika dilihat lebih mendalam apa yang dimaksud dengan produksi adalah cara atau alat, maka pernyataan ini bisa diterima. Namun, jika yang dimaksud terkait dengan tujuan, nilai dan atauran berproduksi maka tidak diragukan lagi peryataan tadi keliru.

Pembahasan mengenai modal yang merupakan salah satu faktor produksi dalam ekonomi Islam, adalah terkait dengan masalah kepemilikan harta. Sedangkan pengembangannya itu sendiri tidak akan lepas dari suatu mekanisme yang dipergunakan seseorang untuk menghasilkan pertambahan kepemilikan tersebut. Dan dalam hal ini Islam menyerahkan masalah pengembangan harta (mekanisme yang dipakai) tersebut kepada individu sesuai pandangan yang menurutnya layak dipergunakan.

Konsep pengembangan modal produksi dalam ekonomi Islam dapat ditinjau

dari beberapa segi yaitu :

1. Sistem Pengembangan

Sistem pengembangan modal dalam ekonomi Islam (termasuk modal

produksi) sangat terkait dengan konsep kepemilikan Islam. Menurut Islam,

kepemilikan pada dasarnya adalah sebagai naluri alamiah yang dimiliki manusia

dan hanya berfungsi sebagai sarana penunjang untuk mencapai tujuan yang

lebih besar, karena semua yang ada di muka bumi (termasuk harta) adalah

milik Allah Swt. Sehingga, dalam konsep ekonomi Islam kepemilikan itu

haruslah merata dan tidak terfokus pada beberapa golongan saja dan di dalam

mendapatkan dan mengembangkannya haruslah melalui cara-cara yang sesuai dengan ketentuan ajaran agama.

Dalam hal ini, ekonomi Islam memberikan batasan-batasan sebagai

berikut:

a. Cara mendapatkan modal (harta) dan mengembangkannya tidak dilakukan dengan yang dilarang Syari’at Islam. Antara lain pertama, dengan jalan perjudian, karena cara ini dapat menimbulkan permusuhan dan dapat merusak tatanan kehidupan masyarakat. Pada dasarnya cara pengembangan ini dilakukan tanpa adanya usaha yang jelas dan hanya bersifat spekulasi semata. Kedua, pengembangan harta/modal dengan jalan riba (apapun bentuk dan jumlahnya), yaitu pengambilan keuntungan dengan cara mengeksploitasi tenaga orang lain. Ketiga, pengembangan modal dengan jalan penipuan (al-ghabn atau at-tadlis). Cara-cara penipuan dalam segala kegiatan ekonomi yang dilakukan di masyarakat jelas-jelas dilarang dan diharamkan agama. Keempat, pengembangan modal (harta) dengan jalan penimbunan. Maksudnya adalah seseorang mengumpulkan barang-barang dengan tujuan menunggu waktu naiknya harga barang-barang terebut, sehingga ia bisa menjualnya dengan harga tinggi menurut kehendaknya.

b. Menentukan mekanisme pengembangan dan pengelolaannya, di mana dalam mekanisme ini harus jelas cara atau bentuk serta tujuan yang akan dicapai. Prinsipnya adalah peningkatan dan pembagian hasil untuk menciptakan sirkulasi yang benar dan tepat bagi setiap golongan masyarakat dengan latar belakang perekonomian yang berbeda.

c. Hak milik pribadi kadangkala dalam keadaan tertentu dapat berubah menjadi

milik umum. Di antara hal penting yang diungkapkan ajaran Islam adalah penetapan antara pemilikan bersama menyangkut benda-benda yang bersifat dharuri (yang sangat dibutuhkan bagi semua manusia), sehingga kepemilikannya bersifat bersama dan umum.

d. Mensuplai atau memberikan orang yang memiliki keterbatasan faktor- aktor produksi dengan ketentuan-ketentuan yang ada, seperti memberikan pinjaman modal untuk digunakan sebagai modal usaha sehingga dapat dikembangkan lagi menjadi lebih besar, ataupun dengan memberikan modal kepada seseorang dengan perjanjian membagi hasil yang didapat sesuai perjanjian.

2. Bentuk Pengembangan Modal

Dalam proses produksi, bentuk pengembangan modal secara umum

dilakukan melalui aktivitas transaksi (akad) dengan tetap memegang aturan

Syari’ah yang terkait. Prinsip utama dalam pengembangan dan pendaya-gunaan

suatu modal dalam ekonomi Islam adalah peningkatan dan pembagian hasil,

dengan tujuan agar tercipta sirkulasi yang merata dalam masyarakat. Tujuan

keadilan sosio-ekonomi dan pemerataan pendapatan sudah jelas dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari filsafat moral Islam dengan

komitmennya pada keadilan dan persaudaran manusia.

Adapun bentuk-bentuk pengembangan modal menurut ketentuan Syari’ah

Mu’amalah, dapat dilakukan dalam bentuk atau pola sebagai berikut:

a. Transaksi akad jual-beli, yaitu pengembangan modal usaha di mana seseorang berada dalam posisi sebagai penjual dan yang lainnya sebagai pembeli, seperti dalam akad al-Ba’i, as-Salam, dan al-Istinsya’.

b. Transaksi akad bagi-hasil, yaitu pengembangan modal usaha di mana seseorang dapat bertindak sebagai pemberi modal dan yang lainnya bertindak sebagai pengelola modal dengan kerentuan akan membagi hasil yang diperoleh sesuai perjanjian yang telah disepakati. Transaksi ini dapat dilihat dalam akad-akad bagi hasil seperti dalam akad as-syirkah seperti akad al-Mudharabah dan akad as-Syirkah.

c. Transaksi akad jasa, yaitu pengembangan modal di mana seseorang bertindak sebagai konsumen/pemakai jasa dan wajib memberikan harga kepada pihak yang telah memberikan jasa tersebut menurut kesepakatan yang dibuat, seperti dalam akad al-rahn, al-wadi’ah. Dengan demikian langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam upaya mengembangkan dan mendaya-gunakan modal produksi ini, dapat direalisasikan antara lain dengan cara:

a). Mengadakan perjanjian Qardh al-Hasan dengan suatu bank Syari’ah yang ada untuk tujuan sosial dengan memberikan pinjaman yang lunak kepada golongan ekonomi yang lemah (khususnya) berupa fasilitas modal usaha, agar mereka dapat memiliki usaha yang tetap dan dapat dikembangkan dengan baik.

b). Mengadakan berbagai larangan terhadap segala bentuk praktek bisnis yang tidak sehat dalam masyarakat, seperti perjudian, riba dan lain sebagainya, dan mewujudkan proses distribusi melalui wadah zakat, infaq dan shadaqah (yang dikelola oleh Bazis) dengan tujuan untuk memenuhi hak-hak sosial masyarakat lainnya. Dalam hal ini peran pemerintah (institusi yang berwenang) dibutuhkan untuk mewujudkannya.

Dengan demikian, dengan adanya pengembangan modal usaha yang dilakukan sesuai dengan sistem ekonomi Islam, diharapkan akan tercipta kondisi perekonomian masyarakat yang kondusif bagi pengembangan produksi. Kepemilikan atas faktor-faktor produksi dalam jumlah besar (khususnya modal) dapat dibatasi dan terkontrol dengan baik untuk menghindari tindakan sewenang-wenang pemilik modal terhadap mereka yang sangat butuh terhadap faktor produksi tersebut.



Kesimpulan

Peranan modal dalam suatu aktivitas ekonomi khususnya produksi adalah sangat penting. Modal berkedudukan sebagai pendukung jalannya proses produksi tersebut disamping faktor-faktor pendukung lainnya. Ekonomi Islam dalam konsep pengembangan modal memberikan ketentuan-ketentuan yang jelas dan terarah, antara lain konsep pengembangan modal yang ditawarkan adalah dengan menyerahkannya pada tiap individu sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Dengan catatan segala bentuk pengembangan yang akan dilakukan, harus memenuhi ketentuan-ketentuan syari’ah yang ada sebagaimana yang diatur dalam Syari’ah Mu’amalah.



DAFTAR PUSTAKA

Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid I Bandung, PT. Ma’arif, 1997.

Budiono, Ekonomi Mikro, Yogyakarta, FE UGM, 1992.

M. Husein Sawit, Sistem Ekonomi Islam, dalam Gunawan, Metodelogi Ilmu

Ekonomi Islam : Suatu Pengantar, Yogyakarta, UII Press, 1999.

M. Manullang, Pengantar Ekonomi Perusahaan, Yogyakarta, BKLM, 1982.

Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam : Zakat dan Wakaf, Jakarta : UI

Press, 1988.

Mukhtar Sya’rawi, Islam Di antara Kapitalisme dan Komunisme, Jakarta, Gema

Insani Press, 1991

M. Umer Chapra, Islam Dan Tantangan Ekonomi Islamisasi Ekonomi Kontemporer,

Surabaya, Risalah Gusti, 1999.

Sri Edi Swasono, Pandangan Islam dalam Sitem Ekonomi Indonesia, Jakarta : UI

Press, 1987.

Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah Suatu Pengenalam Umum, Jakarta, Tazkie Institute,

1990.

Taqyuddin An-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam,

Surabaya, Risalah Gusti, 1996.

Yusuf Qardhawi, Peran Nila Dan Moral Dalam Perekonomi Islam, Jakarta Rabbani

Press, 1997.

PANDANGAN ISLAM TERHADAP KEMISKINAN (Analisis Pemikiran Abdul A'la Al- Maududi dan Yusuf Al- Qardawi

PANDANGAN ISLAM TERHADAP KEMISKINAN (Analisis Pemikiran Abdul A'la Al- Maududi dan Yusuf Al- Qardawi
Ditulis oleh Darusman
Monday, 19 April 2010
ABSTRAK
"Seandainya Kemiskinan berwujud seorang manusia, niscaya aku
akan membunuhnya"
(Ali bin Abi Thalib)
Kutipan di atas pernah dibuat sebagai pembuka bab pertama buku Nabi Subhi
Al Thawil Al-Hirman wa al- Takhalluf fi Diyar al-Muslimin. Buku itu yang
sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia mengisahkan kemelaratan
kaum muslimin dengan data dan angka
Buku kecil ini diakhiri dengan
himbauan agar umat Islam bersama-sama memerangi kemiskinan, seperti tekad
Ali bin Abi Thalib.Yang menarik buat saya sekarang adalah kenyataan bahwa
pernyataan perang terhadap kemiskinan dikeluarkan oleh seorang sahabat yang
dianggap terkenal sederhana, bahkan ia terkenal dengan hidup sufi
.
A. Pendahuluan
Perhatian agama Islam terhadap masalah kemiskinan tersebut sangat besar. Dalam al-
Qur'an kata miskin dan masakin disebut sampai 25 kali, sementara faqir dan fuqoro sampai
14 kali (Muhammad Abdul Baqi'). Allah SWT berfirman "berikanlah makan kepada orang
yang lagi faqir" (QS. AL-Hajj, 22 : 8). Nabi Muhammad SAW sendiri berdo'a "aku
berlindung kepada-Mu dan kefakiran dan kekufuran ".(H.R Abu Daud). Mengapa demikian,
hadits lain menyebutkan bahwa kefakiran yang menimpa seseorang atau suatu bangsa
cenderung akan berperilaku kufur (Kadal Faqru An Yakuuna Kufran). Kufur disini tidak
hanya lawan dari iman, melainkan juga lawan dari syukur atas nikmat- nikmat yang
dianugrahkan Allah SWT. Menurut Yusuf Al-Qardawy
1
, akibat negatif dari kefakiran dan
kemiskinan itu bisa merusak aqidah, moral dan retaknya keluarga serta masyarakat dan
negara.
Dalam Islam ada dua Madzhab dalam menjelaskan tentang siapa sebenarnya yang
disebut miskin itu. Pertama, madzhab Hanafi dan Maliki yang berpendapat miskin itu adalah
"orang yang tidak mempunyai sesuatupun juga". Kedua, madzhab Hambali dan Syafi'i yang
menyatakan miskin itu adalah "orang yang mempunyai seperdua dari keperluannya atau lebih
tetapi tidak mencukupi". Dalam kehidupan kita, biasanya kata miskin dijadikan kata
majemuk dengan faqir
2
, sehingga menjadi faqir miskin yang artinya kurang lebih sama.
Menurut hemat penulis, faqir dapat disamakan dengan kemiskinan absoulut dan miskin
dengan kemiskinan relatif.
Hal ini terdapat beberapa pendirian terhadap masalah kemiskinan
3
. Pertama, pendirian
yang menyucikan kemiskinan. Bagi golongan ini kemiskinan bukan masalah yang harus
dipecahkan, tetapi harus dibiarkan, karena dengan demikian manusia manusia bisa
berkonsentrasi berhubungan dengan Tuhannya, tidak di ganggu dengan urusan duniawi.
Kedua, pendirian para fatalis yang menganggap bahwa kemiskinan itu merupakan taqdir
1Yusuf al-Qardhawy, Konsep Islam dalam Mengentaskan kemiskinan, (Surabaya : Bina Islam, 1996) hal. 12-17
2 Sulaiman Rasyid, Figh Islam (Jakarta: AT- Tahiriyah 1954) hal. 207-209
3 Yusuf al-Qardawy, Op,Cit,. Hal.1-10
________________________________________
Allah dan Manusia harus sabar dengan ujian itu. Ketiga, pendirian ketiga sama dengan fatalis,
namun mereka maju selangkah. Yaitu secara perorangan mereka harus membantu orang-
orang miskin. Madzhab ini dikenal sebagai "kebajikan Pribadi". Keempat, kaum kapitalis
memandang kemiskinan adalah menimbulkan problem yang harus diselesaikan dengan orang
miskin sendiri, sedangkan orang kaya bebas dalam mempergunakan hartanya. Kelima, Kaum
Marxis yang menyatakan bahwa kemiskinan itu bisa diatasi kalau kaum borjuis dan
kekayaannya tidak dimusnahkan, tetapi lalu ditata kelas-kelas baru.
Pendekatan kontemporer melihat bahwa penyebab kemiskinan bisa dilihat dari tiga teori
berikut ini
4
: Pertama, teori yang menekankan kepada pada nilai-nilai. Mereka miskin karena
mereka bodoh, malas, tidak ulet, tidak mempunyai prestasi, fatalistik. Kedua, teori yang
menekankan pada organisasi ekonomi masyarakat. Teori ini menganggap orang itu miskin
karena kurangnya peluang dan kesempatan untuk memperbaiki hidup mereka. Ketiga, teori
yang menekankan pada pembagian kekuasaan dalam struktur sosial dan tatanan masyarakat.
Tatanan dan struktur masyarakat yang ada dianggap sebagai hasil paksaan (bukan konsensus)
sekelompok kecil anggota masyarakat yang berkuasa dan kaya akan mayoritas warga
masyarakat miskin, dan inilah yang menjadi sebab kemiskinan.
Jalan keluar dari teori ini bermacam- macam pula. Bagi teori pertama caranya mereka
harus dicerdaskan, sedangkan bagi teori kedua caranya adalah perlu adanya industrialisasi
agar ada tetesan kebawah. Bagi teori ketiganya yang di perlukan adalah perombakan struktur.
Dilihat dari beberapa teori tersebut ada beberapa pendekatan dalam memahami kemiskinan
dan penyebab yang dapat disederhanakan, yaitu sebab kultural yang dilatari oleh teori
kapitalisme dan sebab struktural yang dilatari oleh oleh teori markisual. Namun masih ada
sebab lain yang tidak boleh dilupakan yaitu peristiwa-peristiwa alam dan lain sebagainya.
Dalam penulisan ini yang ingin penulis ungkapkan adalah alur pemikiran kedua tokoh
muslim, seperti Abul A'la al- Maududi dan Yusuf al- Qardawy di bawah ini.
B. Pemikiran Abul A'la al- Maududi
Menurut Al- Maududi, untuk mengatasi kemiskinan, maka yang akan digunakan dan
diterapkan adalah sistem ekonomi Islam dengan karakteristik sebagai berikut
2
:
1. Berusaha dan bekjerja dengan mengindahkan yang halal dan haram tidak membenarkan
bagi para pemeluknya untuk mencari kekayaan semau mereka dengan jalan apa saja yang
mereka kehendaki. Namun dalam Islam dijelaskan perbedaan antara jalan yang sah dan
jalan yang tidak sah menurut agama. Perinsip ini juga diterapkan oleh Allah SWT dalam
firman-Nya :
Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, sekali-kali jangan kamu makan harta
sesamamu dengan jalan yang tidak sah, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu
membunuh dirimu, sesungguhnya Allah maha penyayang kepadamu. Dan
barang siapa berbuat demikian dengan melanggar hal yang aniaya, maka
kelak memasukkannya kedalam neraka". (Q.S. an- Nisa': 29-30).
Ayat ini terdapat dua ketetapan sebagai syarat bagi syahnya perdagangan. Pertama,
hendaklah perdagangan itu dilakukan suka sama suka di antara kedua belah pihak.Kedua,
hendaklah keuntungan satu pihak, tidak berdiri diatas dasar kerugian pihak lain.
4Jhon Kenneth, Hakekat kemiskinan Massa, Jakarta : Sinar Harapan, hal. 25-26
2Abu A'la al-Maududi, Dasar dasar ekonomi dalam Islamdan Berbagai Sistem masa Kini, Bandung: Al-Ma'arif, 1980,
hal. 116-137
________________________________________
2. Larangan Menumpuk Harta
Yang kedua, ialah seyoganya orang tidak mengumpulkan harta yang meskipun di
dapatnya dengan jalan sah, karena akan menghambat perputaran (distribusi) kekayaan
dan merusak keseimbvangan serta pembagiannya dikalangan masyarakat. Orang yang
mengumpulkan harta dan tidak membelanjakannya, tidak hanya mencampakkan dirinya
kedalam penyakit moral saja, tetapi juga melakukan sesuatu kejahatan besar terhadap
masyarakat banyak, di mana mudlarat dan keburukannya akan kembali menimpa dirinya
sendiri juga. Oleh sebab itu Islam memerangi kebathilan, sebagaimana firman Allah SWT
dalam QS. Ali Imran (3) : 18 yang artinya :" sekali-kali jangan lah orang-orang yang
bathil dengan harta yang dikaruniakan allah, mereka menyangka, bahwa kebathilan itu
baik bagi mereka, bahkan kebathilan itu adalah buruk bagi mereka".
Membelanjakan harta di Jalan Allah Pada sisi lain, Islam menyuruh kepada
ummatnya untuk membelanjakan harta, meski Islam juga melarang untuk bersikap boros.
Namun dengan perintah ini bukan berarti ada legitimasi bagi ummat Islam untuk
membelanjakan harta dengan royal dan boros, apalagi tujuan pengeluaran itu hanya untuk
pemenuhi kepuasan hawa nafsu belaka (hedonisme). Maksud diperintahkannya
membelanjakan harta yaitu membelanjakan harta dengan disertai syarat fi sabilillah, di
jalan allah. Hal ini sesuai dengan QS. Al- baqarah (2) : 219
Artinya : "dan mereka bertanya kepadamu, apa yang mereka belanjakan ? katakanlah,
yang lebih dari keperluan".
Dan Allah juga berfirman dalam QS. An- Nisa' (4) : 36.
Artinya : "Sembahlah olehmu akan Allah, janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan
sesuatu. Dan berbuat baiklah kepada keduia ibu bapak, karib kerabat, anak
yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh,
teman sejawat, orang-orang musafir dan hamba sahayamu".
Ayat-ayat diatas memberi pelajaran bagi kita, sesungguhnya sangkaan-sangkaan
kapitalis yang mengatakan bahwa apabila ia mengeluarkan hartanya di jalan kebaikan,
maka ia akan jatuh miskin dan apabila dikumpulkan hartanya, maka ia akan menjadi
kaya, sedang Islam berkata :"sesungguhnya Allah memberikan harta seorang apabila
dibelanjakannya dijalan kebajikan dan melipatgandakannya".
Seorang kapitalis menyangka bahwa semua harta yang dikeluarkan dijalan kebajikan
telah hilang dan tak akan kembali lagi. Namun Islam membantah, bahwa harta yang
dibelanjakan dijalan kebajikan itu tidak akan hilang, dan akan kembali kepada yang yang
memilikinya dengan sejumlah keuntungan yang besar di hari kemudian. Allah berfirman
dalam QS. Fathir : 20-30 :
Artinya : "Dan mereka membelanjakan hartanya dari rizki yang kami anugerahkan
kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan. Mereka mengharapkan
perniagaan yang tidak akan merugi, karena allah akan menyempurnakan
kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-
Nya".
3. Zakat
________________________________________
Yang di kehendaki dalam Islam pada hakekatnya supaya kekayaan tidak dibiarkan
berkumpul di salah satu tempat dalam masyarakat. Tidak selayaknya bagi orang-orang
yang memperoleh kekayaan karena kebetulan nasib mereka baik atau karena kecakapan
dan kecerdasan mereka, akan menyimpan dan tidak membelanjakan di jalan kebajikan.
Namun wajib bagi mereka membelanjakan dijalan yang memungkinkan bagi mereka
yang tidak mempunyai nasib baik, akan memperoleh bagian yang cukup dari kekayaan
masyarakat dalam distribisinya.
Untuk merealisasikan tujuan inilah Islam menciptakan sifat kedermawaan, murah
hati dan kerja sama (Kooperasi) yang sejati dalam lapangan sosial dengan ajaran ^ ajaran
moralnya yang tinggi, dengan jalan bujukan dan ancaman yang efektif, hingga dengan
kecendrungan alamiahnya manusia merasa jijik untuk mengumpulkan kekayaan dan
menyimpannya, dan engan gemar membelanjakannya dengan sendiri.
Pada sisi lain Islam membuat suatu perundang-undangan yang mewajibkan
pemungutan suatu jumlah yang tertentu dari kekayaan orang bnayak untuk kesejahteraan
masyarakat dan kebahagiaannya. Jumlah yang tertentu dari kekayaan orang banyak ini
dinamakan dengan "zakat". Al-Qur'an sendiri menegaskan barang siapa menyimpan
kekayaan, tidaklah halal baginya sebelum dikeluarkan zakat. Untuk lebih jelasnya Allah
SWT berfirman dalam QS. At- Taubah :1-3 :
Artinya : ”Ambillah sedekah dari harta mereka, dengan sedekah itu kamu membersihkan
dan mensucikan mereka".
Kata zakat itu menunjukkan bahwa kekayaan yang dikumpulkan manusia itu
mengandung najis dan kotor, tidak mungkin ia menjadi suci sebelum dikeluarkan 2,5 %
dalam setiap tahunnya untuk para sabilillah. Tentang siapa yang berhak mendapat zakat.
Allah berfirman dalam QS. At- Taubah : 60 :
Artinya : "sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fkir, orang-orang
miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang sedang dibujuk hatinya,
untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan allah
dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan".
4. Hukum Waris
Islam maju selangkah lagi untuk membagi-bagikan kekayaan yang mungkin masih
tinggal terkumpul di suatu tempat, hingga sesudah pengeluarannya untuk keperluan
pribadi, untuk infaq di jalan Allah dan untuk menunaikan zakat. Yang demikian itu
adalah dengan melaksanakan hukumnya mengenai waris.
Yang dikehe ndaki dalam Islam dengan hukum ini, adalah barang siapa meninggalkan
harta, banyak atau sedikit, sebaiknya harta itu dibagi-bagikan kepada kerabat karibnya.
Dan barang siapa yang tidak mempunyai ahli waris yang mewarisinya, tidaklah
seyogyanya hak itu diberikan kepada anak angkat, namun semua hartanya harus
diserahkan kepada Baitul mal kaum muslimin supaya dapat dinikmati manfaatnya oleh
seluruh umat Islam.
Hukum waris itu tidak ada bandingnya dalam suatu sistem ekonomi yang lain, karena
dikehendaki oleh sistem-sistem itu adalah supaya kekayaan yang dikumpulkan oleh satu
orang harus tetap terkumpul ditangan satu orang atau beberapa orang yang terbatas
jumlahnya sesudahnya juga. Tetapi Islam hendak membagi-bagikan dan meratakannya,
hingga distribusi atau peredaran harta itu dikalangan masyarakat ramai menjadi mudah
dan lancar.
________________________________________
5. Ghanimah
Islam telah memerintahkan, supaya yang dapat dirampas oleh muslimin di medan
perang dibagi menjadi lima bagian, empat bagian buat mereka yang ikut dalam
peperangan dan sebagian untuk kepentingan sosial kaum muslimin. Dalam hal ini allah
berfirman dalam QS. Al- Anfal : 41 :
Artinya :"Ketahuilah, apa saja yang kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka
sesungguhnya seperlimanya untuk allah, Rasul, kerabat rasul, anak yatim,
orang-orang miskin dan ibnu sabil".
Tafsir dari kata-kata sebagian untuk Allah dan Rasul-Nya adalah sebagian yang di
khususkan untuk tujuan-tujuan dan kepentingan- kepentingan sosial, yang diurus dan
diawasi oleh pemerintah dalam negara Islam menurut hukum Allah dan Rasulullah SAW.
Sedang untuk kerabat Rasul adalah sebagian dari seperlima ini, karena mereka tidak
mempunyai bagian dari zakat kaum muslimin dan sedekah mereka. Kemudian ia
menerangkan bagian dari tiga golongan dari seperlima ini secara khusus :
1. Anak ^ anak yatim, untuk keperluan memberi pengajaran dan pendidikan kepada
mereka, supaya dapat memiliki syarat-syarat keahlian untuk turut mengambil bagian
dalam kompetisi di dunia ini.
2. orang-orang miskin yaitu orang yang berkekurangan yang tidak dapat memperoleh
apa yang menjadi kebutuhan mereka dan tempat kediaman mereka. Juga turut
menyertai mereka dalam bagian ini janda-janda kaum muslimin, orang-orang yang
lemah dan orang sakit.
3. Ibnu sabil yaitu orang-orang yang dalam perjalanan. Islam memberikan perhatian
secara serius untuk menumbuhkan kecendrungan dikalangan kaum muslimun untuk
menghormati musafir dan menjamunya dengan sebaik-baiknya. Di samping itu juga
menyediakan sebnagian hartanya untuk musyafir dan harta itu dari zakat yang telah
dikeluarkan, sedekah, dan harta rampasan perang.
Adapun aturan tentang harta rampasan Allah sudah menjelaskan dalam QS. Al-Hasyr;
7-8 yang berbunyi:
Artinya : "Harta rampasan (fai') yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal
dari penduduk kota-kota adalah untuk Allah, untuk Rasul, karib kerabatnya,
anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang dalam perjalanan, supaya harta
itu jangan beredar diantara orangt-orang kaya saja dari pada kamu….(karib
kerabat yang mendapat rampasan itu) adalah : orang-orang fakir yang berhijrah,
yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena)
mencari dari karunia Allah dan keridhaan-Nya, dan mereka mendapat
pertolongan Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar."
Ayat ini tidak hanya menjelaskan pos-pos kemana harta rampasan perang (fai') itu
dibagikan, namun juga menjelaskan dengan isyarat yang jelas mengenai tujuan yang
senantiasa diingatkan oleh Islam, bukan hanya dalam pembagian harta rampasan saja,
tetapi juga dalam sistem ekonominya yang menyeluruh, yaitu : supaya harta itu jangn
sampai beredar di sekitar orang-orang kaya saja.
6. Hemat
Islam memperhatikan dan mengawasi perputaran kekayaan pada seluruh
masyarakat, dan ditentukannya satu bagian dari harta orang-orang kaya untuk diberikan
kepada fakir dan miskin pada satu sisi, dan pada sisi lain diperintahkannya kepada tiap-
tiap individu dalam mengeluarkan hartanya (pembelanjaan), hingga keseimbangan dalam
pembagian kekayaan tidak terganggu karena kelalaian dan keterlaluan individu-individu
dalam mempergunakan kekayaan mereka. Dalam hal ini Allah SWT berfirman dalam QS.
Al- Furqan :67 yang artinya :"Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta) tidak
berlebih-lebihan, dan tidak pula kikir, tetapi adalah (pembelanjaan) itu di tengah-tengah
antara yang demikian".
Dalam hal ini, Islam tidak menghendaki seyogyanya orang membelanjakan harta
kecuali dalam lingkungan batas-batas kemampuan ekonominya. Tidak dihalalkan baginya
melampaui batas, hingga pengeluarannya lebih besar dari pada pendapatannya, kemudian
ia terpaksa menjadi seorang pengemis dan perampas harta orang lain, atau berhutang
kepada orang lain tanpa ada keperluan yang sesungguhnya kemudian tidak membayarnya
kepadanya, atau menjual semua alat-alat dan perabot rumah tangga yang dimilikinya
untuk membayar hutangnya, dan memasukkan dirinya kedalam golongan orang fakir-
miskin karena perbuatannya sendiri.
Artinya mengeluarkan atau membelanjakan dalam lingkungan batas-batas
kemampuan adalah jika seseorang mempunyai penghasilan yang besar, ia boleh
membelanjakan semaunya secara boros dan mewah, bersenag-senang dan berfoya-foya
sepanjang hidupnya. Namun karib kerabatnya, teman sejawatnya, dan tetangganya yang
ada di sekelilingnya melewatkan hari-hari sepanjang hidupnya dalam keadaan lapar,
miskin, dan sengsara. Mereka hampir-hampir tidak dapat memperoleh suatu yang dapat
dipergunakan mereka untuk mempertahankan kelanjutan hidup mereka. Pembelanjaan
yang semata-mata didorong oleh seperti dipandang oleh Islam ebagai suatu tindak
melakukan pemborosan.
C. Pemikiran Yusuf Al- Qardawy
Islam menyatakan perang dengan kemiskinan, dari berusaha keras membendungnya,
serta mengawasi berbagai kemungkinan yang dapat menimbulkannya, guna menyelamatkan
aqidah, akhlak dan perbuatan memelihara kehidupan rumah tangga, dan melindungi
kesetabilan serta ketentraman masyarakat. Di samping itu untuk mewujudkan jiwa
persaudaraan antara sesama anggota masyarakat.
Demikian juga dengan apa yang dikemukakan oleh Yusuf al- Qordawy, bahwa
kemiskinan ini bisa terentaskan kalau setiap individu mencapai taraf hidup yang layak
didalam masyarakat. Dan untuk mencapai taraf hidup yang diidealkan itu islam memberikan
kontribusi berbagai cara dengan jalan sebagai berikut.
3
1. Bekerja
Setiap orang yang hidup dalam masyarakat Islam, diharuskan bekerja dan
diperhatikan berkelana dipermukaan bumi ini. Serta diperintahkan makan dari rizki Allah.
Sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Mulk : 15 :
Artinya : "Dialah yang menjadikan bumi itu rumah bagimu, maka berjalanlah disegala
penjurunya dan makanlah sebagian rizki-Nya".
3 Yusuf al-Qardawy , Loc, Cit, hal. 151-209
________________________________________
Bekerja merupakan suatu yang utama untuk memerangi kemiskinan, modal pokok
untuk menvapai kekayaan, dan faktor dominan dalam menciptakan kemakmuran dunia.
Dalam tugas ini, Allah telah memilih manusia unbtuk mengelola bumi, sebagaimana yang
telah dinyatakan oleh Allah, bahwa hal itu pernah diajarkan oleh Nabi Saleh a.s kepada
kaumnya, QS. Hud: 61:
Artinya : "Wahai Kaumku ! sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu tuhan,
melainkan dia. Dia telah menciptakan kamu dari tanah (liat) dan menjadikan
kamu sebagai pemakmurmu".
2. Mencukupi keluarga yang lemah
Sudah menjadi dasar pokok dalam syari'at Islam, bahwa setiap individu harus harus
memerangi kemiskinan dengan mempergunakan senjatanya, yaitu dengan bekerja dan
berusaha. Di balik itu, apa dosa orang-orang lemah yang tidak mampu bekerja? Apa dosa
para janda yang ditinggal para suaminya dalam keadaan tidak berharta? Apa dosa anak-
anak yang masih kecil dan orang tuanya yang sudah lanjut usia? Apa dosa orang cacat
selamanya, sakit dan lumpuh? sehingga mereka semua kehilangan pekerjaannya? apakah
mereka dibiarkan begitu saja karena bencana tengah melanda dan menimpa mereka,
sehingga mereka terlantar dalam kehidupan yang tidak menentu?
Melihat realitas di atas Islam tidak menutup mata, namun Islam justru mengentaskan
mereka dari lembah kemiskinan dan kemelaratan, serta menghindari mereka dari
perbuatan rendah dan hina, seperti mengemis dfan meminta-minta. Pertama-tama konsep
yang yang dikemukakan untuk menanggulangi hal itu adalah adanya jaminan antara
anggota suatu rumpun keluarga, Islam telah menjadikan antara anggota keluarga saling
menjamin dan mencukupi. Sebagian meringankan penderitaan anggota yang lain. Yang
kuat membantu yang lemah, yang kaya menvukupi yang miskin, yang mampu
memperkuat yang tidak mampu, karena itu hubungan yang mengikat mereka. Faktor
kasih sayang, cinta mencintai, dan saling membantu adalah ikatan serumpun kerabat.
Demikinlah sebenarnya hakekat hubungan alami. Hal ini telah didukung oleh kebenaran
syari'at Islam, sebagaimana yang disebutkan dalm QS. Al- Anfal: 75:
Artinya: "Dan anggota keluarga, sebagiannya lebih berhak terhadap anggota keluarga
yang lain, menurut kitab Allah".
3. Zakat
Islam mewajibkan setiap orang sehat dan kuat, untuk bekerja dan berusaha mencapai
rizki Allah, guna menccukupi dirinya dan keluarganya, sehingga sanggup mendermakan
hartanya di jalan Allah. Bagi orang yang tidak mampu berusaha dan tidak sanggup
bekerja, serta tidak mempunyai harta warisan atau simpanan guna mencukupi kebutuhan
hidupnya, ia berhak mendapatkan jaminan dari keluarganya yang mampu. Keluarga yang
mampu tadi berkewajiban memberikan bantuan serta bertanggung jawab terhadap nasib
keluarga yang miskin.
Namun demikian, tidak semua fakir miskin mempunyai keluarga yang mampu dan
sanggup memberi bantuan. Apakah kiranya yang akan dibuat oleh fakir miskin yang
malang itu? Apakah mereka dibiarkan begitu saja, hidup dibawah tekanan kemelaratan
dan ancaman kelaparan, sedangkan masyarakat disekitarnya yang didalamnya terdapat
orang-orang kaya, hanya menyaksikan penderitaan mereka?.
________________________________________
Islam tidak akan membiarkan begitu saja nasib fakir miskin yang terlantar.
Sesungguhnya allah SWT telah menetapkan bagi mereka suatu hak tertentu di dalam
harta orang-orang kaya, dan suatu bagian yang tetap dan pasti, yaitu zakat. Sasaran utama
bagi zakat itu adalah untuk mencukupi kebutuhan orang-orang miskin.
Di samping zakat juga masih ada hak-hak material lain, yang wajib di penuhi oleh
orang Islam, karena berbagai sebab dan hubungan. Kesemuanya itu merupakan
sumberdana bantuan bagi orang-orang fakir dan miskin merupakan kekuatan untuk
mengusir kemiskinan dari tubuh masyarakat Islam. Hak- hak tersebut diantaranya adalah :
a. Hak bertetangga
b. Korban Hari Raya Haji
c. Melanggar Sumpah
d. Kafarah sumpah
e. Kafarah Dihar
f. Kafarah
g. Fidyah bagi yang lanjut usia
h. Al- Hadyu (pelanggaran dalam ibadah haji)
i. Hak tanaman pada saat mengentan
j. Hak mencukupi fakir miskin.
4. Al-Khizanah al-Islamiyah (sumber Material dalam Islam atau Baitul Mal)
Apabila dalam distribisi kekayaan yang diambil dari zakat untuk para fakir miskin
tidak mencukupi, maka dapat diambil dari persediaan dari sumber material yang lain.
Sumber material yang dimaksud adalah Khizanah al- Islamiyah.
Sumber-sumber material dalam Islam disini meliputi hak milik negara dan kekayaan
^ kekayaan umum, yang dikelola dan diurus oleh pemerintah, baik yang digarap
langsaung maupun yang dikerjakan bersama, seperti harta wakaf, sumbner kekayaan
alam, dan barang tambang yang ditetapkan dalam Islam.
Sebagian besar ahli fiqih Islam sangat berhati-hati dalam menyelamatkan hak fakir
miskin dalam hubungannya dengan harta zakat. Karena itu, mereka tidak membolehkan
harta zakat itu seluruhnya atau sebagian dipergunakan untuk kepentingan umum.
Misalnya, untuk pembiayaan angkatan perang atau keperluan-keperluan lainnya yang
serupa, meski pada saat itu kas anggaran belanja induk mengalami minus. Sedangkan kas
anggaran belanja zakat dalam keadaan surplus. Kecuali dengan jalan pinjaman atas nama
kas anggaran belanja induk, yang nantinya setelah kas anggaran belanja iru surplus
kembali, pinjaman itu harus dikembalikan kepada kas anggaran belanja zakat.
Kekayaan itu harus dipegang dan dikuasai oleh pemerintah agar seluruh rakyat bisa
menikmati manfaatnya. Segala sesuatu yang merupakan pemasukan Khizanah al-
Islamiyah merupakan sumber bantuan bagi orang-orang miskin, manakala pemasukan dan
zakat tidak mencukupi para fakir miskin. Khizanah al-islamiyah ini sangat penting
keberadaannya karena, ketika di antara kaum muslimin orang-orang fakir dan miskin
membutuhkan bantuan, sedangkan kas sedekah (zakat) mengalami kekosongan. Dalam
hal ini seorang imam (kepala negara) boleh mengambil uang khas harta pajak untuk
memenuhi kebutuhan mereka tersebut. Pinjaman itu tidak perlu dinyatakan sebagai
pinjaman yang harus dibayar oleh khas sedekah.
Dari baitul mal ini sesungguhnya merupakan persediaan paling terakhir setiap orang
fakir dan orang-orang yang berkekurangan. Karena itu baitul mal milik semua orang,
bukan milik seorang amir (pimpinan/kepala negara) atau kelompok orang-orang tertentu.
________________________________________
5. Shodaqoh
Islam juga berusaha membentuk pribadi yang luhur, dermawan, dan murah hati.
Pribadi yang luhur adalah insan yang suka memberikan lebih dari apa yang diminta, suka
mendermakan lebih dari apa yang diwajibkan. Ia suka memberikan sesuatu, kendati tidak
diminta dan tidak dituntu terlebih dahulu. Ia suka berderma (memberi infaq) dikala siang
maupun malam.
Sebab itulah, telah turun sejumlah al-qur'an yang agung dan hadits Rasulullah yang
mulia sebagai pembawa berita gembira dan penyampaian ancaman siksa, pembangkit dan
penggerak gairah kerja, pendorong kearah ikhlas, berjuang, dan berderma serta pencegah
sikap-sikap kikir dan bakhil. Sebagaimana Allah berfirman dalam QS. Al-baqarah (2):
245:
Artinya: "Siapa saja yang mau meminjamkan kepada Allah dengan satu pinjaman yang
baik, ia akan mengadakan (pembayaran) itu dengan berlipat ganda. Sebab, Allah-
lah yang menyempitkan dan meluakan rizki, dan kepadanyalah kalian
dikendalikan".
Allah berfirman dalam QS. Al-Insan: 8- 10, yang berbunyi;
Artinya : "Dan mereka memberi makanan yang diseganinya, kepada orang-orang miskin,
dan anak-anak yatim, dan orang tawanan. Sesungguhnya kami tidak memberi
makanan kepada kamu melainkan karena Allah, kami tidak mengharap dari kamu
balasan dan ucapan terimakasih. Sesungguhnya kami takit akan adzab Tuhan
kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang yang bermuka masam penuh
kesulitan".
D. Penutup
Al-Qur'an telah menekankan pesan beberapa kali bahwa kaum muslimin tidak menahan
kekayaan dan pendapatan mereka hanya untuk diri mereka sendiri. Melainkan setelah
memenuhi kebutuhan mereka mencukupinya, mereka harus melaksanakan kewajiban
terhadap keluarga dekat mereka, para tetangga, serta orang-orang lain yang membutuhkan
pertolongan di dalam komunitas tersebut, dan orang-orang yang mempunyai kekayaan cukup
diwajibkan untuk memperhatikan kepentingan-kepentingan para fakir miskin.
Tindakan yang dimaksudkan oleh Islam itu adala, Pertama, Tindakan positif yang
dipakai untuk mencegah pemusatan kekayaan dan membantu menyebarkan di dalam
masyarakat, misalnya, menyebarkan zakat kedalam masyarakat serta hukum waris. Tujuan
tindakan ini adalah untuk memenuhi jumlah minimum hak-hak masyarakat yang dituntut
kemi kemaslahatan masyarakat. Dengan kata lain, upaya itu untuk membina dan
mempertahankan keadilan sosial di dalam kontinuitas masyarakat. Kedua, tindakan-tindakan
pelarangan yang dipergunakan untuk mencegah timbulnya praktik-praktik yang tidak sehat,
penumpukan harta, pengeluaran yang sia-sia dan lain sebagainya.
Untuk mencapai cita-cita keadilan ekonomi dalam masyarakat sebagai mana di
sebutkan di atas, Islam mempersembahkan cita-cita yang sangat tinggi pada individu agar
tidak terjerumus pada level yang lemah menjadi "hewan Ekonomi" dimana hidupnya hanya
untuk makan, dan dimana perutnya merupakan awal dan akhir dari seluruh aktivitas
ekonominya. Padahal seharus-nya merasa bahawa makan adalah untuk sekedar hidup dan
hidup adalah untuk mencapai cita-cita yang lebih mulia.
________________________________________
Dengan demikian, Islam merupakan alternatif dalam pemecahan masalah kemiskinan,
berbeda dengan feodalisme yang hany menikmati kesejahteraan melalui keringat orang lain,
berbeda pula dengan kapitalisme yang membenarkan sistem riba, berbeda pula dengan
sosialisme yang tidak membenarkan hak waris. Disini Islam mempunyai konsep sosial bagi
mereka yang mempunyai kekayaan berlebih melalui zakat dan sebagainya.
Daftar Pustaka
Abu A'la al-Maududi, Dasar dasar ekonomi dalam Islamdan Berbagai Sistem masa Kini,
Bandung: Al-Ma,arif. 1980.
Jhon Kenneth, Hakekat Kemiskinan Masa, Jakarta Sinar harapan. 1980
Sulaiman Rasid, Fiqh Islam, Jakarta : at-Tahiriyah, 1954
Yusuf al-Qardhawy, Konsep Islam dalam Mengentaskan kemiskinan, Surabaya : BinaIslam,
1996