MODAL PRODUKSI DALAM KONSEP EKONOMI ISLAM
Ditulis oleh Naili Rahmawati
Tuesday, 04 May 2010
Pendahuluan
Faktor penggerak yang sangat mendasar dari suatu aktivitas ekonomi adalah adanya usaha untuk memenuhi kebutuhan manusia. Pemenuhan kebutuhan manusia merupakan tujuan sekaligus motivasi dari terbentuknya kegiatan ekonomi masyarakat, baik dalam produksi, konsumsi dan distribusi. Namun, tidak semua kebutuhan manusia dapat terpenuhi. Kebutuhan seseorang dikatakan terpenuhi, apabila ia dapat mengkonsumsi barang atau jasa dari hasil proses produksi yang tersedia. Dalam memenuhinya, manusia memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Perbedaan ini antara lain disebabkan oleh adanya proses produksi, yang sangat terkait dengan faktor-faktor pendukungnya yang masih terbatas jumlah, termasuk modal (capital).
Dalam konsep sistem ekonomi Kapitalis, hak milik atas barang modal atau alat-alat produksi lain seperti tanah, mesin dan sebagainya, dapat berada di tangan perorangan. Setiap orang (individu) berhak dan bebas menggunakan, mengembangkan dan mencari keuntungan dari modal yang dimiliki untuk berusaha (melakukan aktivitas ekonomi seperti produksi dan sebagianya), dan negara tidak boleh ikut campur dalam semua aktivitas ekonomi yang bertujuan mencari keuntungan (profit), selama aktivitas itu sah dan sesuai dengan peraturan yang ditetapkan negara. Oleh karenanya, kebebasan individu dalam menguasai harta secara tak terbatas, akan menyebabkan penumpukan kekayaan secara berlebihan dan dan dapat menimbulkan persaingan bisnis yang tidak sehat. Dan pada akhirnya, di tengah masyarakat akan timbul kekacauan dan problem ekonomi lainnya dalam tatanan perekonomian karena adanya kebebasan individu dalam mengeksploitasi sumber-sumber produksi yang tersedia untuk kepentingn diri sendiri.
Sementara itu, dalam konsep sistem ekonomi Sosialis, kepemilikan atas hak miliki sangat dibatasi. Hal ini sangat bertolak belakang dengan apa yang ditawarkan sistem Kapitalisme. Sistem ini membatasi (melarang) tiap individu memiliki modal yang akan digunakan dalam aktivitas ekonomi, termasuk dalam bidang produksi melarang keras kepemilikikan modal utama (dominan). Semua modal yang ada sepenuhnya milik pemerintah (negara). Hanya negara-lah yang berhak menguasai faktor-faktor yang mendukung proses produksi. Dalam hal ini, posisi negara adalah sangat dominan dan berfungsi sebagai motor penggerak perekonomian dan tiap individu hanya berkedudukan sebagai pelaksana kegiatan produksi yang telah direncanakan. Dengan kata lain, kebebasan ekonomi dan hak atas kepemilikan modal dihapuskan dan telah ditentukan oleh prinsip kesamaan, di mana tiap individu telah disediakan kebutuhan hidupnya menurut keperluan masing-masing. Oleh karenanya, sistem ini pada dasarnya akan menghambat kreativitas individu untuk mengembangkan kegiatan perekonomiannya, karena adanya monopoli yang mengatas-namakan sosialisme.
Adapun dalam konsep sistem ekonomi Islam, hak milik individu terhadap harta (termasuk kepemilikan atas modal produksi) pada dasarnya merupakan suatu amanat yang dititipkan Allah kepada hamba-Nya. Islam memandang masalah ekonomi tidak dari sudut pandang kapitalis yang memberikan kebebasan yang tak terbatas kepada individu untuk menggalakkan usaha secara perorangan, dan tidak pula menghapus semua hak individu dan menjadikan mereka budak ekonomi yang dikendalikan negara seperti yang ditekankan ekonomi sosialis.Akan tetapi, di bawah sistem ekonomi Islam, kepemilikan individu atas harta dan pengembangannya tetap memiliki kebebasan dengan dibatasi ketentuan-ketentuan yang sesuai aturan-aturan Syari’ah.
Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan mencoba memaparkan bagaimana peran modal dalam suatu aktivitas perekonomian, khususnya dalam proses produksi dan bagaimana pola-pola pengembangannya sesuai dengan konsep-konsep yang ditawarkan sistem ekonomi Islam.
Modal dalam Proses Produksi
Proses produksi merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh manusia untuk menghasilkan barang-barang (hasil produk) dalam memenuhi kebutuhan hidup, dengan motif (latar belakang) yang berbeda-beda, antara lain misalnya motif ekonomi, yang berorientasi pada keuntungan (profit), motif sosial-kemanusian, yaitu kegiatan produksi dilakukan karena adanya manfaat positif dan tidak menimbulkan kerusakan moral (etika) bagi masyarakat, dan motif politik, yaitu kegiatan produksi dilakukan berkaitan dengan adanya kebutuhan negara atas suatu barang produksi sebagai pendukung ketahanan dan stabilitas pemerintahan. Al-Qur’an menggunakan konsep produksi dalam artian luas, dan lebih menekankan pada perolehan manfaat dari barang yang akan diproduksi, yaitu harus memiliki hubungan dengan kebutuhan hidup manusia. Kegiatan memproduksi barang-barang secara berlebihan dan tidak sesuai dengan kebutuhan manusia dianggap sebagai kegiatan yang tidak produktif (unproductive).
Pengertian Modal
Modal sebagai salah satu faktor produksi dapat diartikan sebagai semua bentuk kekayaan yang dapat dipakai langsung atau tidak langsung dalam proses produksi untuk menambah out put-nya. Dalam pengertian lain, modal didefinisikan sebagai semua bentuk kekayaan yang memberikan penghasilan kepada pemiliknya atau suatu kekayaan yang dapat menghasilkan suatu hasil yang akan digunakan untuk menghasilkan kekayaan lain.
Dari ketiga definisi di atas diketahui bahwa pada prinsipnya modal segala sesuatu yang memiliki peranan penting untuk menghasilkan suatu barang
produksi dalam suatu proses produksi.
Peran Modal dalam Proses Produksi
Suatu modal dalam kegiatan ekonomi merupakan salah satu faktor penting produksi yang tidak dapat diabaikan, di samping faktor-faktor pendukung proses produksi lainnya. Setiap individu berhak menggunakan modal yang dimiliki dengan baik dan produktif. Produksi berskala besar dalam usaha memenuhi kebutuhan masyarakat yang dicapai saat ini, adalah manfaat yang dapat dihasilkan dari penggunaan modal secara maksimal, efisien dan produktif. Oleh karena itu, seseorang yang memiliki harta, baik yang tidak atau belum mampu mengurusnya, diharuskan dapat mengembangkan harta yang dimiliki dengan benar dan membiayai keuntungan pemiliknya dari keuntungan perputaran modal, bukan dari pokok modalnya.
Menurut Bowerk, suatu modal produksi dapat dikatakan sebagai modal yang
produktif, jika :
a. Modal mempunyai kesanggupan sebagai faktor pendukung dalam memproduksi barang-barang produksi.
b. Modal mempunyai kekuatan untuk menghasilkan barang-barang dalam jumlah yang lebih besar dari jumlah yang dihasilkan tanpa memakai modal.
c. Modal sanggup menghasilkan barang atau benda-benda yang lebih berharga dari apa yang dihasilkan tanpa menggunakan modal.
d. Modal sanggup menghasilkan nilai harga (price) yang lebih besar dari nilai modal itu sendiri.
Dengan demikian dapat diketahui dengan jelas, bahwa suatu modal memiliki kedudukan yang sangat penting dalam faktor-faktor produksi, meskipun bukan menjadi yang terpenting. Dalam hal ini faktor manusia mempunyai tempat yang lebih tinggi di atas modal sebagai faktor utama yang menjadi penyebab adanya kegiatan produksi ataupun aktivitas ekonomi lainnya. Oleh karenanya, fungsi modal yang utama adalah sebagai penunjang jalannya proses produksi untuk mengahasilkan barang-barang produksi dalam rangka memenuhi kebutuahan masyarakat (konsumen).
Pengembangan Modal Dalam Proses Produksi Menurut Konsep Ekonomi Islam
Sebagian penulis sistem ekonomi Islam menyatakan bahwa sesungguhnya Islam hanya memusatkan perhatiannya pada pendistribusian harta (pembagian kekayaan secara adil), dan tidak memiliki hubungan sama sekali dengan produksi dan pengembangannya. Pernyataan ini tidak semuanya benar. Jika dilihat lebih mendalam apa yang dimaksud dengan produksi adalah cara atau alat, maka pernyataan ini bisa diterima. Namun, jika yang dimaksud terkait dengan tujuan, nilai dan atauran berproduksi maka tidak diragukan lagi peryataan tadi keliru.
Pembahasan mengenai modal yang merupakan salah satu faktor produksi dalam ekonomi Islam, adalah terkait dengan masalah kepemilikan harta. Sedangkan pengembangannya itu sendiri tidak akan lepas dari suatu mekanisme yang dipergunakan seseorang untuk menghasilkan pertambahan kepemilikan tersebut. Dan dalam hal ini Islam menyerahkan masalah pengembangan harta (mekanisme yang dipakai) tersebut kepada individu sesuai pandangan yang menurutnya layak dipergunakan.
Konsep pengembangan modal produksi dalam ekonomi Islam dapat ditinjau
dari beberapa segi yaitu :
1. Sistem Pengembangan
Sistem pengembangan modal dalam ekonomi Islam (termasuk modal
produksi) sangat terkait dengan konsep kepemilikan Islam. Menurut Islam,
kepemilikan pada dasarnya adalah sebagai naluri alamiah yang dimiliki manusia
dan hanya berfungsi sebagai sarana penunjang untuk mencapai tujuan yang
lebih besar, karena semua yang ada di muka bumi (termasuk harta) adalah
milik Allah Swt. Sehingga, dalam konsep ekonomi Islam kepemilikan itu
haruslah merata dan tidak terfokus pada beberapa golongan saja dan di dalam
mendapatkan dan mengembangkannya haruslah melalui cara-cara yang sesuai dengan ketentuan ajaran agama.
Dalam hal ini, ekonomi Islam memberikan batasan-batasan sebagai
berikut:
a. Cara mendapatkan modal (harta) dan mengembangkannya tidak dilakukan dengan yang dilarang Syari’at Islam. Antara lain pertama, dengan jalan perjudian, karena cara ini dapat menimbulkan permusuhan dan dapat merusak tatanan kehidupan masyarakat. Pada dasarnya cara pengembangan ini dilakukan tanpa adanya usaha yang jelas dan hanya bersifat spekulasi semata. Kedua, pengembangan harta/modal dengan jalan riba (apapun bentuk dan jumlahnya), yaitu pengambilan keuntungan dengan cara mengeksploitasi tenaga orang lain. Ketiga, pengembangan modal dengan jalan penipuan (al-ghabn atau at-tadlis). Cara-cara penipuan dalam segala kegiatan ekonomi yang dilakukan di masyarakat jelas-jelas dilarang dan diharamkan agama. Keempat, pengembangan modal (harta) dengan jalan penimbunan. Maksudnya adalah seseorang mengumpulkan barang-barang dengan tujuan menunggu waktu naiknya harga barang-barang terebut, sehingga ia bisa menjualnya dengan harga tinggi menurut kehendaknya.
b. Menentukan mekanisme pengembangan dan pengelolaannya, di mana dalam mekanisme ini harus jelas cara atau bentuk serta tujuan yang akan dicapai. Prinsipnya adalah peningkatan dan pembagian hasil untuk menciptakan sirkulasi yang benar dan tepat bagi setiap golongan masyarakat dengan latar belakang perekonomian yang berbeda.
c. Hak milik pribadi kadangkala dalam keadaan tertentu dapat berubah menjadi
milik umum. Di antara hal penting yang diungkapkan ajaran Islam adalah penetapan antara pemilikan bersama menyangkut benda-benda yang bersifat dharuri (yang sangat dibutuhkan bagi semua manusia), sehingga kepemilikannya bersifat bersama dan umum.
d. Mensuplai atau memberikan orang yang memiliki keterbatasan faktor- aktor produksi dengan ketentuan-ketentuan yang ada, seperti memberikan pinjaman modal untuk digunakan sebagai modal usaha sehingga dapat dikembangkan lagi menjadi lebih besar, ataupun dengan memberikan modal kepada seseorang dengan perjanjian membagi hasil yang didapat sesuai perjanjian.
2. Bentuk Pengembangan Modal
Dalam proses produksi, bentuk pengembangan modal secara umum
dilakukan melalui aktivitas transaksi (akad) dengan tetap memegang aturan
Syari’ah yang terkait. Prinsip utama dalam pengembangan dan pendaya-gunaan
suatu modal dalam ekonomi Islam adalah peningkatan dan pembagian hasil,
dengan tujuan agar tercipta sirkulasi yang merata dalam masyarakat. Tujuan
keadilan sosio-ekonomi dan pemerataan pendapatan sudah jelas dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari filsafat moral Islam dengan
komitmennya pada keadilan dan persaudaran manusia.
Adapun bentuk-bentuk pengembangan modal menurut ketentuan Syari’ah
Mu’amalah, dapat dilakukan dalam bentuk atau pola sebagai berikut:
a. Transaksi akad jual-beli, yaitu pengembangan modal usaha di mana seseorang berada dalam posisi sebagai penjual dan yang lainnya sebagai pembeli, seperti dalam akad al-Ba’i, as-Salam, dan al-Istinsya’.
b. Transaksi akad bagi-hasil, yaitu pengembangan modal usaha di mana seseorang dapat bertindak sebagai pemberi modal dan yang lainnya bertindak sebagai pengelola modal dengan kerentuan akan membagi hasil yang diperoleh sesuai perjanjian yang telah disepakati. Transaksi ini dapat dilihat dalam akad-akad bagi hasil seperti dalam akad as-syirkah seperti akad al-Mudharabah dan akad as-Syirkah.
c. Transaksi akad jasa, yaitu pengembangan modal di mana seseorang bertindak sebagai konsumen/pemakai jasa dan wajib memberikan harga kepada pihak yang telah memberikan jasa tersebut menurut kesepakatan yang dibuat, seperti dalam akad al-rahn, al-wadi’ah. Dengan demikian langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam upaya mengembangkan dan mendaya-gunakan modal produksi ini, dapat direalisasikan antara lain dengan cara:
a). Mengadakan perjanjian Qardh al-Hasan dengan suatu bank Syari’ah yang ada untuk tujuan sosial dengan memberikan pinjaman yang lunak kepada golongan ekonomi yang lemah (khususnya) berupa fasilitas modal usaha, agar mereka dapat memiliki usaha yang tetap dan dapat dikembangkan dengan baik.
b). Mengadakan berbagai larangan terhadap segala bentuk praktek bisnis yang tidak sehat dalam masyarakat, seperti perjudian, riba dan lain sebagainya, dan mewujudkan proses distribusi melalui wadah zakat, infaq dan shadaqah (yang dikelola oleh Bazis) dengan tujuan untuk memenuhi hak-hak sosial masyarakat lainnya. Dalam hal ini peran pemerintah (institusi yang berwenang) dibutuhkan untuk mewujudkannya.
Dengan demikian, dengan adanya pengembangan modal usaha yang dilakukan sesuai dengan sistem ekonomi Islam, diharapkan akan tercipta kondisi perekonomian masyarakat yang kondusif bagi pengembangan produksi. Kepemilikan atas faktor-faktor produksi dalam jumlah besar (khususnya modal) dapat dibatasi dan terkontrol dengan baik untuk menghindari tindakan sewenang-wenang pemilik modal terhadap mereka yang sangat butuh terhadap faktor produksi tersebut.
Kesimpulan
Peranan modal dalam suatu aktivitas ekonomi khususnya produksi adalah sangat penting. Modal berkedudukan sebagai pendukung jalannya proses produksi tersebut disamping faktor-faktor pendukung lainnya. Ekonomi Islam dalam konsep pengembangan modal memberikan ketentuan-ketentuan yang jelas dan terarah, antara lain konsep pengembangan modal yang ditawarkan adalah dengan menyerahkannya pada tiap individu sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Dengan catatan segala bentuk pengembangan yang akan dilakukan, harus memenuhi ketentuan-ketentuan syari’ah yang ada sebagaimana yang diatur dalam Syari’ah Mu’amalah.
DAFTAR PUSTAKA
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid I Bandung, PT. Ma’arif, 1997.
Budiono, Ekonomi Mikro, Yogyakarta, FE UGM, 1992.
M. Husein Sawit, Sistem Ekonomi Islam, dalam Gunawan, Metodelogi Ilmu
Ekonomi Islam : Suatu Pengantar, Yogyakarta, UII Press, 1999.
M. Manullang, Pengantar Ekonomi Perusahaan, Yogyakarta, BKLM, 1982.
Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam : Zakat dan Wakaf, Jakarta : UI
Press, 1988.
Mukhtar Sya’rawi, Islam Di antara Kapitalisme dan Komunisme, Jakarta, Gema
Insani Press, 1991
M. Umer Chapra, Islam Dan Tantangan Ekonomi Islamisasi Ekonomi Kontemporer,
Surabaya, Risalah Gusti, 1999.
Sri Edi Swasono, Pandangan Islam dalam Sitem Ekonomi Indonesia, Jakarta : UI
Press, 1987.
Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah Suatu Pengenalam Umum, Jakarta, Tazkie Institute,
1990.
Taqyuddin An-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam,
Surabaya, Risalah Gusti, 1996.
Yusuf Qardhawi, Peran Nila Dan Moral Dalam Perekonomi Islam, Jakarta Rabbani
Press, 1997.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar