Kamis, 06 Mei 2010

Tiga Sudut Pandang Ekonomi Islam

Tiga Sudut Pandang Ekonomi Islam
Ditulis oleh Prayudi
Sama tujuan, beda pandangan. Ini juga terjadi dalam memahami dan menggali ekonomi Islam. Ekonom Islam telah membuat garis damarkasi yang jelas antara ilmu ekonomi konvensional dan ilmu ekonomi Islam. Keduanya tidak mungkin dikompromikan, karena keduanya didasarkan pada paradigma yang berbeda. Namun ketika kepada mereka disodorkan bagaimana menjelaskan dan mengkonsep ekonomi Islam itu, muncullah perbedaan pendapat yang tajam.

Setidaknya, sampai saat ini, seperti disampaikan pakar ekonomi Islam Adiwarman A Karim, pemikiran ekonom muslim kontemporer terbagi dalam tiga kubu dengan cara pandang yang khas dan berbeda satu sama lain. Mereka adalah madzab Baqir as-Sadr, madzhab mainstream, dan madzhab alternatif-kritis.

Madzhab pertama dipelopori oleh Baqir As-Sadr melalui buku fenomenal: Iqtishaduna (ekonomi kita). Belakangan muncul tokoh-tokoh pendukung yang ikut mempopulerkan madzhab ini seperti Abbas Mirakhor, Baqir al-Hasan, Kadim as-Sadr, Iraj Taotounchian dan Hedayati.

Dalam buku Iqtishaduna, Baqir memaparkan betapa ilmu ekonomi (economics) tidak akan pernah sejalan dengan Islam. Secara ketat dia menegaskan, ilmu ekonomi tetaplah ekonomi, dan Islam tetap Islam. Keduanya tidak bisa disatukan karena terlahir dari filosofi yang secara diametral bertentangan: anti-Islam dan Islam.

Perbedaan yang tajam itu mencuat pada mencoloknya perbedaan pandangan dalam melihat dan memetakan masalah ekonomi. Sebagai misal, dalam melihat problema mendasar dari ekonomi. Ilmu ekonomi menjelaskan persoalan ekonomi muncul karena adanya keinginan manusia yang tak terbatas, sementara sumberdaya yang bisa digunakan untuk memuaskan keinginan itu sangat terbatas.


Madhzab Baqir menolak pandangan ini. Mereka menyebut Islam tidak mengenal adanya sumberdaya yang terbatas. ''Sungguh Kami telah menciptakan segala sesuatu dalam ukuran yang setepat-tepatnya.'' Dalil yang mereka petik dari Alquran 54:49 itu menjadi rujukan betapa sumberdaya sudah diciptakan Allah dalam ukuran yang tepat. Dengan demikian segala sesuatunya sudah terukur dengan sempurna, karena Allah telah memberikan sumberdaya yang cukup bagi seluruh ummat manusia di dunia.

Akan halnya sumberdaya yang terbatas yang mereka tolak, mereka juga menampik pandangan bahwa keinginan manusia itu tak terbatas. Sebagai contoh, manusia akan berhenti minum setelah dahaganya terpuaskan. Contoh yang sangat mudah dimengerti ini, bahkan dalam literer ilmu ekonomi konvensional dikenal dengan Hukum Gossen.

Lalu apa persoalan ekonomi yang sebenarnya? Madzhab Baqir menjelaskan, persoalan ekonomi muncul sebagai akibat adanya sistem ekonomi yang membolehkan adanya eksploitasi dari yang kuat terhadap yang lemah. Mereka yang kuat memiliki akses terhadap sumberdaya sehingga seolah menggenggam kunci untuk membuka sumberdaya untuk terus memupuk kekayaannya. Sedangkan yang lemah tidak memiliki akses yang sama sehingga terus terkepung oleh kemiskinan yang terus-menerus membuatnya makin papa.

Dalih inilah yang mereka ajukan untuk menjungkirbalikkan argumen ekonomi konvensional dan seklaigus menandaskan, persoalan ekonomi bukanlah karena sumberdaya yang terbatas. Persoalan ekonomi muncul karena keserakahan manusia yang tidak terbatas.

Berdasarkan gambaran ini, mereka menolak istilah ilmu ekonomi Islam. Istilah itu mereka katakan sebagai bentuk yang menyesatkan dan kontradiktif, dan kerenanya penggunaan istilah ilmu ekonomi Islam harus dihentikan. Alternatifnya, mereka mengusulkan istilah Iqtishad yang berakar dari terminologi Islam sendiri.

Istilah Iqtishad bukanlah sekedar mengalihbahasakan ekonomi dalam kosakata Arab. Sebab, menurut mereka, istilah itu dalam bahasa aslinya merujuk pada arti ''keadaan sama'', ''seimbang'' atau ''pertengahan'' yang dalam bahasa ekonomi lebih dikenal dengan ekuilibrium.

Upaya penggantian istilah kemudian berlanjut pada radikalisasi yang mengerucut pada penolakan dan pembuangan seluruh ilmu ekonomi konvensional. Sebagai pengganti, mereka menuliskan sendiri teori-teori ekonomi yang digali dan dideduksi dari Al-quran dan As-Sunnah.

{Madzhab Mainstream}
Berbeda dengan Baqir, Madzhab Mainstream malah mendukung rumusan yang telah digulirkan ilmu ekonomi konvensional. Persoalan ekonomi, menurut madzhab ini, terjadi karena sumberdaya yang terbatas yang dihadapkan pada keinginan manusia yang tak terbatas.

Uniknya untuk mendukung teorema ini, tak kalah dengan Baqir, mereka juga merujuk dari dalil Alquran. ''Dan Sungguh akan Kami uji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.'' Jelaslah betapa sumberdaya memang terbatas seperti diakui sendiri oleh Al Quran 2:155 itu.

Lebih konkret lagi mereka mencontohkan, total permintaan dan penawaran beras di seluruh dunia memang akan berada pada titik ekuilibrium. Namun kenyataan itu akan berbeda bila dilihat dari sisi tempat dan waktu. Pada sisi ini akan sangat mungkin terjadi kelangkaan sumberdaya. Dan inilah yang sering terjadi. Suplai beras di Ethiopia dan Bangladesh, misalnya, lebih langka dibanding dengan yang ada di Thailand. Keterbatasn sumberdaya ini yang menurut mereka tidak bisa dinafikan.



Permasalahan bagi ilmu ekonomi adalah bagaimana menata skala prioritas. Ilmu ekonomi konvensional menyerahkan penataan ini pada selera manusia. Prinsip ini tidak bersesuain dengan prinsip Islam karena manusia bisa terjerumus pada apa yang disebut oleh Al-Quran dengan 'mempertuhankan hawa nafsu'.

Pandangan madzhab Mainstream tidak ada bedanya dengan pandangan ekonomi konvensional. Titik pangkal persoalan ekonomi menurut mereka adalah kelangkaan sumber daya (scarcity). Namun meskipun sama-sama memandang kelangkaan sebagai titik masalah, tentu saja madzhab Mainstream tetap berbeda dengan ekonomi konvensional.

Perbedaan itu terletak dalan menyelesaikan masalah. Kesulitan yang hadir karena sumber daya yang terbatas di satu pihak dan keinginan manusia yang tak terbatas di sisi lainnya, memaksa manusia membuat skala prioritas dalam memenuhi keinginannya.
Dalam pandangan ekonomi konvensional pola penentuan skala prioritas itu didasarkan pada pandangan selera masing-masing.

Mereka boleh mempertimbangkan tuntutan agama, pun boleh mengabaikannya. Dengan kata lain pilihan prioritas itu diserahkan pada keinginan mereka yang bebas atau yang dalam bahasa Al-Quran disebut sebagai 'mempertuhankan hawa nafsu'.

Di sinilah bedanya. Madzhab Mainstream menegaskan pilihan dalam menata prioritas ekonomi itu tak bisa diatur semaunya saja. Sebab, perilaku manusia dalam segala aspeknya tak terkecuali masalah ekonomi, diatur dan dipandu oleh Al-Quran. Pandangan inilah yang dipopulerkan oleh antara lain Umer Chapra, MA Mannan, dan M Nejatullah Siddiqi.

Banyak pendukung madzhab ini yang bekerja di Islamic Development Bank (IDB). Karena mereka memiliki akses ke berbagai negara, ide-idenya lebih cepat dan mudah tersebar. Kebanyakah dari mereka adalah doktor yang belajar dan sekaligus mengajar di universitas-universitas Barat.

Sangat wajar bila mereka tidak pernah membuang teori-teori ekonomi konvensional ke keranjang sampah. Menurut mereka, usaha mengembangkan ekonomi Islam tidak berarti harus memusnahkan semua hasil analisis yang berharga yang telah dicapai oleh ekonomi konvensional. Sebab, mengambil hal-hal yang baik dan berguna yang dihasilkan oleh peradaban nonislam tidaklah diharamkan. Mereka merujuk pada hadits Nabi yang mengatakan hikmah itu bagi ummat Islam ibarat barang yang hilang di mana saja ditemukan, ummat Islamlah yang paling berhak untuk mengambilnya.

Madzhab alternatif-kritis
Dua madzhab sebelumnya: madzhab Baqir dan Mainstream sama-sama bermasalah. Setidaknya, itulah yang memicu lahirnya paham ketiga dalam memandang ekonomi Islam. Madzhab ini lebih dikenal sebagai madzhab Alternatif-Kritis. Di antara pelopornya adalah Timur Koran (ketua Jurusan Ekonomi University of Southern California), Jomo (Yale, Cambride, Harvard, Malaya) dan Muhammad Arif.

Mereka mengkritik madzhab Baqir hanya berusaha menemukan sesuatu yang baru yang sebenarnya sudah ditemukan oleh orang lain dengan menghancurkan teori lama dan menggantinya dengan perspektif yang baru. Sedang madzhab mainstream menurut mereka sekedar 'jiplakan' dari teori ekonomi konvensioanl dengan menghilangkan variabel riba dan memasukkan variabel zakat serta niat.

Sesuai namanya, mereka mencoba kritis baik terhadap sosialisme dan kapitalisme ataupun kepada Islam sendiri. Mereka yakin bahwa Islam tentu benar, tapi ekonomi Islami belum tentu benar karena itu digali dari penafsiran manusia terhadap Al-Quran dan As-Sunnah yang nilai kebenarannya tidak mutlak lagi. Oleh karena itu, tandas mereka, ekonomi Islam harus selalu diuji kebenarannya sebagaimana yang dilakukan terhadap ekonomi konvensional.

Prinsip-prinsip umum
Meskipun berbeda dalam memformulasikan pandangan dalam memahami ekonomi Islam, namun ketiga madzhab di muka setuju dengan prinsip-prinsip umum yang mendasari ekonomi Islam. Prinsip inilah yang membentuk keseluruhan kerangka ekonomi Islam yang bisa digambarkan sebagai bangunan rumah dari mulai dasar hingga atapnya (lihat gambar).

Fondasi dari bangunan ekonomi Islam dibangun di atas lima dasar: tauhid (keimanan), 'adl (keadilan), nubuwwah (kenabian), khilafah (pemerintahan) dan ma'ad (hasil). Kelima elemen inilah yang menjadi dasar inspirasi untuk menyususn proposisi dan teori ekonomi Islam.
Agar teori yang kuat ynag digali dari ke lima elemen itu bisa diterapkan dan memberi dampak bagi kehidupan ekonomi maka harus disusun menjadi sebuah sistem.

Karena itulah dari kelima dasar itu kemudian dieksplorasi dan kemudian diturunkan menjadi tiga prinsip derivatif yang menjadi cikal bakal sistem ekonomi Islam. Ketiga unsur ini adalah kepemilikan multi jenis (multitype ownership), kebebasan untuk berusaha (freedom to act) dan keadilan sosial (social justice).

Baru sebagai atap yang memayungi semua nilai dan prinsip itu ditempatkan konsep akhlaq. Kenapa demikian, karena akhlaq menjadi sentral dari dakwah nabi untuk menyempurnakan akhlaq manusia. Jadilah akhlaq ini yang menjadi panduan dan pedoman bagi pelaku ekonomi dalam menjalankan segenap aktivitas bisnisnya.



Mekanisme pasar menjadi bagian yang mendasar bagi Islam. Asalkan, tidak terjadi prektek distorsi (proses penzdaliman). Karena potensi distorsi selalu ada dalam pasar, maka itu harus dikurangi terus-menerus dengan menerapkan prinsip keadilan. Penegakan nilai-nilai keadilan dilakukan dengan melarang semua kegiatan usaha yang cenderung membawa mafsadat (kerusakan) seperti riba (tambahan yang didapat secara dzalim), gharar (ketidakpastian) dan maysir (perjudian) atau pun mendapatkan keuntungan dari kerugian orang lain.

Sebuah bangunan rumah setidaknya dibangun dari fondasi yang kuat, disangga dengan pilar-pilar yang kokoh, dilengkapi dengan atap yang menahan terik maupun hujan. Demikian juga dengan konstruksi teori ekonomi Islam. Fondasi untuk pembentukan ekonomi Islam dilandaskan pada lima nilai pokok. Yakni, keimanan (tauhid), keadilan ('adl), kenabian (nubuwwah) dan pemerintahan (khilafah).

Kelima dasar yang membentuk teori ekonomi Islam ini selanjutnya diturunkan dalam tiga prinsip yang membentuk sistem ekonomi Islam. Ketiganya adalah kepemilikan multijenis (multitype ownership, kebebasan berusaha (freedom to act) dan keadilan sosial (social justice) yang menjadi pilar penyangga. Sebagai atapnya, konstruksi ekonomi Islam memilihkan 'bahan' yang kita kenal dengan akhlaq. Berikut kupasan ringkas dari masing-masing nilai itu.

Keesaan Tuhan
Esensi paling dasar dari fondasi ajaran Islam adalah Tauhid (keesaan tuhan). Bertauhid artinya, meniadakan semua elemen, zat yang patut disembah kecuali Allah (QS 2:107, 5:17,120, 24:33). Karena Allah adalah Maha Pencipta alam semesta (QS 6:1-3) sekaligus pemilik dan pemeliharanya. Allahlah yang memiliki segala sesuatu. Kepemilikan yang dikuasai manusia sekedar amanah dari Allah, yang diberikan sebagai batu ujian bagi manusia.

Segala sesuatu yang ada tidaklah diciptakan Allah dengan sia-sia, melainkan ada tujuannya (QS 23:115). Manusia diciptakan Allah untuk mengabdi dan beribadah kepada-Nya (QS 51:56). Dalam kerangka ini, segala tindak manusia yang berhubungan dengan alam (sumberdaya) dan manusia (muamalah) tidak bisa dilepaskan dari hubungannya dengan Allah. Karena, kepada Allahlah nantinya segala perbuatan -- termasuk di dalamnya aktivitas ekonomi dan bisnis -- akan dipertanggungjawabkan.

Keadilan
Sifat adil ('adl) menjadi sifat-Nya dalam segala hal. Sebagai wujud keadilan itu, Allah tidak membeda-bedakan makhluk berdasarkan kriteria ras, kekayaan, kecantikan, tapi siapa yang paling bertaqwa di antara mereka. Untuk menjaga keadilan di dunia, Allah menitahkan manusia untuk memelihara hukum Allah dan menjamin segala sumber daya diarahkan untuk kesejahteraan manusia (QS 2:30).

Dengan cara itu, semua manfaat dari sumberdaya dapat didistribusikan secara adil. Adil secara sederhana diartikan sebagai "tidak menzdalimi dan tidak dizdalimi". Adil dalam ekonomi berarti setiap usaha pelaku ekonomi tidak boleh hanya didasari motif untuk mengejar keuntungan pribadi dengan merugikan orang lain atau merusak alam.

Bila nilai keadilan hilang, maka manusia akan terkotak-kotak dalam berbagai kelompok, di mana kelompok yang satu bisa menjadi ancaman bagi kelompok lainnya. Pada akhirnya, yang sangat dikhawatirkan adalah terjadinya eksploitasi manusia atas manusia (QS 25:20). Pada taran ini nilai keadilan digantikan dengan kerakusan.

Kenabian
Manusia bisa mengetahui bagaimana dia bertauhid dan selanjutnya bisa berbuat adil, tidak bisa dipisahkan dari peran para nabi dan rasul. Karena merekalah, pertunjuk Allah untuk bisa memaknai hidup agar selamat di dunia dan akhirat sampai kepada manusia. Mereka juga sekaligus menjadi prototype dan teladan bagi manusia di masanya.

Bagi umat Islam, model yang sempurna yang telah dikirimkan Allah adalah Nabi Muhammad. Sebagai teladan, Nabi sepanjang hayatnya telah memperlihatkan empat sikap konsisten yang menjadi modal dasar dalam bernegara, berbisnis, berda'wah dan bermasyarakat yaitu sifat shiddiq, amanah, fathonah dan tabligh.

Siddiq berarti benar atau jujur dalam segala tindakan. Inilah visi setiap muslim. Kehidupan di dunia harus dijalani secara benar, supaya hidup kita diridhai oleh yang Mahabenar. Dari konsep ini, dalam ekonomi bisa diturunkan prinsip efektivitas (mencapai tujuan yang tepat) dan efisiensi (melakukan kegiatan yang benar). Efektivitas bisa dicapai bila kegiatan ekonomi tersebut dilakukan dengan menggunakan teknik dan metode yang tidak menyebabkan kemubaziran. Mubazir dalam Islam adalah temannya setan. Dan setan selalu menjadi lawan dari kebenaran.

Bila visi muslim kebenaran, maka perwujudannya dalam keseharian adalah bentuk sikap amanah. Bersikap amanah menjadi misi bagi setiap muslim. Amanah dalam bentuk sederhananya adalah tanggung jawab, kepercayaan dan kredibilitas. Muslim yang amanah berarti dia akan selalu berusaha dalam segala tindakannya dapat dipertanggungjawabkan.

Dengan demikian, kredibilitasnya di mata para kolega bisnis pun akan tinggi. Tanpa kredibilitas, bisnis yang sedang dirancang atau sudah dijalani akan hancur.

Visi dan misi saja belum cukup. Untuk melengkapinya, seorang muslim harus cerdas dan bijaksana. Inilah perwujudan dari sifat fathonah. Dengan kecerdikan dan wawasan mendalam, seorang muslim akan memiliki strategi dalam hidup. Implikasi ekonomi dari sifat fathonah adalah bahwa segala aktivitas ekonomi harus dilakukan berdasarkan ilmu, kecerdikan dan menggunakan semua potensi akal untuk meraih tujuan. Pendeknya dalam berbisnis, muslim dituntut untuk bersikap work hard and smart.

Untuk menunjang tiga sifat dasar di muka, dalam hidup muslim harus bisa melakukan kegiatan pemasaran. Dalam 'memasarkan' ajaran agama, Nabi dibekali dengan sifat tabligh. Sifat itu bisa meliputi keahlian komunikasi, keterbukaan dan pemasaran. Bila sifat tabligh sudah mendarah daging, setiap muslim mestinya bisa menjadi pemasar-pemasar tangguh.

Pemerintahan
Manusia diciptakan untuk menjadi kholifah (pemimpin yang memerintah) di muka bumi. Itu artinya, mereka mendapatkan amanah sebagai pemimpin dan pemakmur bumi. Sifat manusia pada dasarnya sebagai pemimpin. 'Setiap dari kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya, demikian sebuah petikan sabda Nabi. Dengan demikian, apakah dia sebagai kepala negara, pemimpin masyarakat, pemimpin keluarga atau sebagai individu pun mereka adalah pemimpin. Ini mendasari sikap hidup kolektif dalam Islam. Fungsi utamanya adalah untuk menjaga keteraturan interaksi antar kelompok agar kekacauan dan keributan bisa dihindarkan.

Dalam Islam pemerintah memerankan bagian yang tidak kecil. Di pundak pemerintah dipikulkan tugas untuk menjamin perekonomian agar berjalan sesuai dengan syariah, di samping untuk memastikan agar tidak ada pelanggaran-pelanggaran atas hak-hak manusia. Semua itu bertujuan untuk mencapai maqashid syar'i (tujuan-tujuan syariah) yaitu untuk memajukan kesejahteraan manusia. Kesejahteraaan itu hanya bisa dicapai bila ada perlindungan terhadap keimanan, jiwa, akal, kehormatan dan kekayaan manusia.

Hasil
Prinsip dasar ekonomi Islam yang terakhir adalah ma'ad (hasil). Secara harfiah ma'ad berarti "kembali". Hidup manusia akan berakhir dan kemudian ia akan "kembali" kepada Allah. Ini mengajarkan betapa hidup tidak saja di dunia, tapi terus berlanjut hingga alam akhirat. Itulah kenapa dalam Islam dunia dipandang tak lebih dari sekedar ladang bagi akhirat. Dunia sekedar wahana untuk menyebarkan benih-benih kebajikan yang hasilnya akan dituai di akhirat kelak. Karena lebih kekal, tentu saja akhirat lebih baik ketimbang dunia. Karena itu Allah melarang manusia untuk terikat pada dunia. allah menegaskan, kesenangan di dunia tidaklah seberapa bila dibanding dengan kenikmatan akhirat (QS 87:17).

Allah memerintahkan manusia untuk berjuang untuk mnedapatkan ganjaran baik di dunia maupun di akhirat. Perbuatan baik mereka akan dibalas dengan kebaikan yang berlipat. Dari sini konsep ma'ad diartikan sebagai imbalan atau ganjaran. Dalam kehidupan ekonomi, motivasi para pelaku bisnis, menurut Imam Ghazali, adalah untuk mendapatkan laba: baik berupa ganjaran di dunia dan akhirat. Itulah mengapa konsep Islam memberikan legitimasi untuk memdapatkan profit.

Sistem ekonomi Islam
Dari kelima nilai di muka, jelaslah semua elemen menjadi sumber inspirasi bagi penyusunan teori-teori dan proposisi ekonomi Islam. Dari nilai-nilai itu, bisa diturunkan lagi dalam bentuk prinsip derivatif yang menjadi ciri khas sistem ekonomi Islam. Prinsip derivatif tersebut adalah kepemilikan multi jenis (multitype ownership), kebebasan berusaha (freedom to act) dan keadilan sosial (social justice). Berikut kupasan dari masing-masing prinsip.

Nilai tauhid dan adil akan melahirkan konsep multitype ownership. Dalam sistem kapitalis, prinsip umum kepemilikan yang berlaku adalah kepemilikan swasta. Sebaliknya, dalam sistem sosialis, negaralah yang mengklaim kepemilikan itu. Islam berada di tengah-tengahnya dengan mengakui bermacam-macam bentuk kepemilikan baik untuk swasta, negara atau campuran.

Dengan prinsip ini, ditegaskan pemilik utama bumi seisinya berikut langit yang memayungi hanya Allah semata. Manusia sekedar diberi hak untuk mengelola. Dia sekedar pemilik sekunder. Dengan demikian kepemilikan swasa diakui, tapi untuk menjamin keadilan -- tidak ada eksploitasi satu dengan yang lain -- maka cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Ini adalah bentuk pengakuan terhadap kepemilikan negara. Sistem kepemilikan campuran, baik campuran swasta-negara maupun swasta-domestik-asing, juga mendapat tempat dalam Islam.

Nilai nubuwwah di muka telah dijelaskan akan menjadikan pribadi-pribadi yang profesional dan prestatif dalam segala hal -- termasuk dalam bisnis. Pelaku bisnis akan tergerak untuk menjadikan Nabi sebagai model dalam menjalankan bisnis, khususnya dalam meniru sifat siddiq, amanah, tabligh, dan fathonah.

Keempat nilai ini bila digabungkan dengan nilai keadilan dan khilafah (good governance) akan melahirkan prinsip kebebasan bertindak (freedom to act) bagi setiap muslim, khususnya dalam usaha/bisnis. Freedom to act akan menciptakan mekanisme pasar bagi perekonomian yang sehat. Mekanisme pasar menjadi bagian yang mendasar bagi Islam, asalkan tidak terjadi prektek distorsi (proses penzdaliman).

Karena potensi distorsi selalu ada dalam pasar, maka itu harus dikurangi terus-menerus dengan menerapkan prinsip keadilan. Penegakan nilai-nilai keadilan dilakukan dengan melarang semua kegiatan usaha yang cenderung membawa mafsadat (kerusakan) seperti riba (tambahan yang didapat secara dzalim), gharar (ketidakpastian) dan maysir (perjudian) atau pun mendapatkan keuntungan dari kerugian orang lain.

Menjadi tugas negaralah untuk menyingkirkan segala distorsi ini. Dengan demikian negara bertindak untuk mengurangi market distortion. Peran negara adalah mengawasi interaksi (muamalah) para pelaku bisnis dalam menjalankan usahanya agar tidak melanggar syariah dan menjadikan pihak lain sebagai pihak yang terzdalimi.

Gabungan dari nilai khilafah dan ma'ad akan melahirkan prinsip keadilan sosial (social justice). Dalam Islam, pemerintah bertanggung jawab menciptakan keseimbangan sosial antara yang kaya dengan yang miskin.


Akhlaq
Setelah memiliki landasan teori yang kuat, serta sistem ekonomi yang mantap, masih ada lagi yang kurang: perlunya panduan yang menuntut para pelaku ekonomi bertindak. Mereka harus bertindak sesuai dengan teori dan sistem yang telah digali dari sumber-sumber Islam itu. Norma yang bisa menuntut untuk melakukan itu adalah akhlaq.

Dengan kata lain, harus ada manusia yang berperilaku dan berakhlaq secara profesional (ihsan) dalam bidang ekonomi. Baik dia posisinya sebagai produsen, konsumen, pengusaha, karyawan, atau sebagai pejabat pemerintah.

Teori sebaik apapun tidak akan mendapatkan hasil guna yang diharapkan bila manusia pelaksananya tidak berakhlaq. Sistem ekonomi Islam hanya memastikan tidak ada transaksi ekonomi yang bertentangan dengan syariah. Namun yang penting, kinerja bisnis tergantung pada man behind the gun. Akhlaq menjadi kriteria pertama apakah para pebisnis melakukan usahanya dengan benar. Itulah kenapa nabi menegaskan, "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar