Oleh: Any Setianingrum, ME,Sy (Akademisi & Pemerhati Ekonomi Syariah)
Selain mengatur ibadah ritual yakni hubungan langsung dengan Allah Swt, Islam juga mengatur interaksi antar manusia lintas agama dalam kegiatan ekonomi, sejauh itu tidak melibatkan perkara, zat dan cara yang dilarang. Walaupun dalam kegiatan ekonomi, Islam berbicara masalah pengaturan hubungan, hak dan kewajiban antara pelaku ekonomi baik muslim maupun non muslim secara adil, namun apakah sistem ekonomi syariah tidak berseberangan dengan tujuan negara Republik Indonesia yang bukan negara Islam, atau dengan kata lain apakah sistem ekonomi syariah berseberangan dengan nasionalisme?
Salah satu nilai yang dijunjung tinggi dalam kegiatan ekonomi Islam adalah amanah dan memperhatikan tingkatan maslahah/sistem prioritas sesuai syariah. Contohnya dalam kegiatan produksi dan konsumsi, sebagai aplikasi dari nilai amanah, Islam menganjurkan memberdayakan sumber daya yang telah dikaruniakan Allah Swt di sekitar kita terlebih dahulu, baru jika tidak ada lagi sumber daya yang terdekat, bisa mencari ke lingkungan yang lebih luas. Jadi dalam hal ini Islam mendukung produksi lokal yang memanfaatkan sumber daya lokal, demikian pula Islam mendukung konsumsi produk lokal dibanding produk asing, dalam rangka memaksimalkan maslahah disekitar kita terlebih dahulu. Namun marak kita temui fenomena penggunaan barang-barang impor di negeri ini. Sementara di waktu yang sama, marak pula industri sejenis dalam negeri kembang kempis kesulitan dalam mencari pasar. Bahkan Tak hanya produk-produk besar, engsel, sekrup, dan isi staples pun Indonesia harus impor dari China. Dominasi produk impor semakin kuat karena konsumen nasional masih berorientasi memilih produk impor (import minded) dengan menganggap produk impor lebih berkualitas dan bergengsi, tapi mengesampingkan nilai amanah dan maslahah (keuntungan ekonomis sekaligus keberkahan) yang sebenarnya selaras dengan nilai nasionalisme.
Pada penggunaan teknologi, ekonomi syariah memberlakukan sistem penggunaan teknologi konstan (P3EI, 2008), yang artinya penggunaan teknologi tidak ditujukan untuk semata-mata mencapai keuntungan maksimum. Penggunaan teknologi dalam ekonomi Islam ditujukan untuk mencari kombinasi output maksimum dengan menempatkan sumber daya insani pada harkat dan martabatnya untuk mencapai maslahah maksimum, barulah diputuskan teknologi apa yang tepat digunakan. Jadi fenomena penggunaan teknologi yang menyebabkan sumber daya insani terpinggirkan dan berdampak timbulnya mudharat yang lebih besar demi meraih keuntungan setinggi-tingginya tidaklah dibenarkan dalam sistem ekonomi syariah. Demikian pula penggunaan teknologi yang tidak memberdayakan potensi lokal yang terdekat secara maksimal, dan justru memprioritaskan sumber daya asing tidak direkomendasikan dalam sistem ekonomi syariah. Namun faktanya, tidak sedikit pengangguran di negeri ini terpaksa harus gigit jari menyaksikan teknologi mutakhir berdatangan dari negara asing yang makin mempersempit lapangan kerja atau hanya menempatkan manusia sebagai cadangan saja.
Rasulullah SAW mencontohkan sinergi pemerintah, pemberdayaan masyarakat dan pasar dalam akselerasi pembangunan ekonomi di Madinah yang dalam waktu singkat tumbuh menjadi kota yang maju, sejahtera, adil, mandiri tanpa ketergantungan pada bahan baku, produk dan hutang asing. Dukungan masyarakat umum sebagai konsumen utama yang membeli dan menggunakan produk-produk yang ditawarkan di pasar yang dibangun Rasulullah SAW, sebagai institusi yang menjamin terciptanya keadilan ekonomi sangat ampuh menciptakan pertumbuhan ekonomi sekaligus distribusi pendapatan, yang menghasilkan keuntungan ekonomis sekaligus keberkahan bagi seluruh masyarakat Madinah, baik muslim maupun non muslim.
Paparan tersebut di atas menyimpulkan bahwa dalam sistem ekonomi syariah menganut Azas keunggulan komparatif (keunikan suatu negara dan tidak dimiliki oleh negara lain, yang memiliki keunggulan dan dapat diandalkan sebagai sumber pendapatan), dan juga sistem prioritas sesuai tingkatan maslahah, serta menempatkan harkat dan martabat sumber daya insani pada tempat yang tinggi, guna mencapai maslahah maksimum. Dengan kata lain, membangun bangsa, dengan memberdayakan potensi sumber daya alam dan sumber daya insani sesuai harkat dan martabatnya lebih menjamin keuntungan dan keberkahan ekonomi, daripada bergantung pada produk-produk dan hutang asing serta teknologi yang mengesampingkan aspek maslahah secara komprehensif. Selama ini, berapa besar biaya sosial dan problemantika yang harus ditanggung akibat ketergantungan dengan hutang dan produk asing serta penggunaan teknologi dari luar yang hanya mengejar keuntungan setinggi-tingginya namun mengabaikan aspek pemberdayaan sumber daya insani?
Kesimpulan dari uraian di atas adalah sistem ekonomi syariah mendukung sebuah negara untuk menjunjung tinggi nasionalisme dalam kegiatan produksi, distribusi dan konsumsinya. Sistem ekonomi syariah dan nasionalisme memiliki kesamaan pandangan untuk mencintai produk dalam negeri, bebas dari tekanan dan hutang asing, mendahulukan sumber daya lokal, memilih teknologi konstan guna tetap dapat memberdayakan manusia sesuai harkat dan martabatnya dengan memaksimalkan kombinasi output lokal setempat, serta menempatkan warga negara sendiri sebagai key person dalam pembangunan ekonomi. Nasionalisme dalam kegiatan ekonomi akan menciptakan efektifitas sosial yang dampaknya selain keuntungan juga keberkahan bagi masyarakat luas. Sistem ekonomi syariah tidak berseberangan dengan tujuan negara, justru mempertegas dukungannya terhadap nasionalisme dalam pembangunan ekonomi, untuk mendapatkan tingkat maslahah maksimum bagi seluruh elemen bangsa.
(Penulis adalah Alumni Program pascasarjana Magister Ekonomi Syariah Universitas Azzahra)
Sumber : http://mei-azzahra.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar